Laman

Rabu, 08 Februari 2012

Menurutmu, ‘Superman Is Dead’ Apaan Sih?..

Sebuah tulisan menarik , tentang sebuah apresiasi By RVLSNT

“Superman Is Dead itu ya Band, Pejuang and They are cool.” ~ Komar Clash

Mungkin akan menjadi sebuah diary anak kemarin sore yang tahu musik telah mempengaruhi hidupnya. Ya, anak SMP baru beberapa tahun lalu yang tahu seorang kawan memutar kaset album “Kuta Rock City” dengan fasihnya mereka berucap: “Ku benci semua yang tak pasti, woooo… Rambut spikey dibilang funky, Mall dipenuni lambang anarki…” tanpa sadar kaki pun ikut mengikuti hentakan drum dari namanya Jerinx yang setelah melihat dan membaca sampul Albumnya mereka.

“Superman Is Dead? 3 Pria bergambar… Kece… Super Kece. *leleh*” ~ Krisna Pratiwi W.

“Aku suka Superman Is Dead karena ada Jerinx. Ya, aku groupies nya Jerinx. Tapi aku suka Superman Is Dead juga karena liriknya yang berbobot. Beda dengan Top 40 yang menye-menye.” ~ Annisya Primawindy.

Ya, Superman Is Dead. Trio yang bergenre Punk Rock ini telah mengacuhkan pandangan saya dulu terhadap Guns N’ Roses. (kalian boleh tertawa, saya memang dulu penggemar Axl Rose Cs.) Tak perlu bicara atau mengulas banyak, puluhan atau ratusan ulasan mengenai cerita 3 punk rocker asal Bali ini di berbagai media, tapi untuk soal menginspirasi itu lain cerita, kawan. Bagi seorang bocah yang kesehariannya bernuansa religius, lingkungan militer dan pilihan reurbanisasi tentu saja masa yang terbilang sulit untuk mengenal sekelas SID. Mengenal sisi mereka sebagai… idola, apa susahnya? sebenarnya bukan itu, saya bukan sebagai penggemar karbitan maupun kambuhan begitu mereka tenar lalu heboh mendukungnya, tenggelam dan dilupakan. Dulu untuk untuk anak SMP apa sih artinya lirik lagu, mereka mendengar, asik dan suka, stereotype yea. Saya ingat Jerinx dalam tulisannya berucap: “Banyak orang yang bisa bermain skillful, tempo drum hebat, tehnik vokal diatas angin dan bergaya seperti rockstar kebanyakan groupies yang mempunyai masalah kejiwaan [yea right...] tapi jarang banget ada band Indonesia, apalagi yang terkenal, punya lirik berontak yang sekaligus pintar. Ujung2nya paling keras bisanya menghujat pemerintah tanpa ngasi solusi yang jelas, yang buruh bangunan pun bisa melakukan itu sambil menghisap kretek terakhirnya.” - yang dimuat di fans page JRX di Facebook.

Dari album Kuta Rock City, Hangover Decade, Black Market Love dan paling baru Angels and Outsiders dalam kurun waktu hampir 9 tahun hampir melekat dalam telinga, saya banyak belajar dari pribadi mereka yang merujuk pada sesuatu pengalaman dalam perjalanan hidup yang tak pernah terlupakan. Mau balajar? banyak pesan yang disuarakan, kritik sosial, ekonomi, politik, budaya, bahkan agama mereka rangkum dalam lagu dan beberapa tulisan. Dan menurut saya sosok SID terlihat jelas pada album Black Market Love.

“Superman Is Dead itu band yang gak hanya bermusik, tapi menyuarakan apa yang mereka lawan lewat lagu. Garis besarnya sih mereka bukan band yang hanya menghibur.” ~ Hartiny P. Arra Maria

“SID itu nama band kan?! Kalo di industri musik -Superman Is Dead- itu nama band yang berasal dari bali. Kalo diterjemahkan yang artinya Superman Udah Mati.” ~ Echa

Sekarang, mereka sudah terkenal, penggemar yang dinamakan Outsider dan Lady Rose menampakan diri dari berbagai penjuru kota berjumlah ratusan atau ribuan yang bersaing dengan jumlah para anggota slankers dalam menjejali setiap konsernya. Saya pribadi merasa bangga, band dalam negeri yang memulai sejarah dari pait sampe manis bisa mensejajarkan diri dari band mainstream indonesia yang *uhuk*. Kalo secara pribadi, ditanya serunya bersama musik SID, ya banyak. di suruh cerita ya, sehari-semalam. Yang paling seru waktu saya pengen punya cita-cita untuk merontokkan gigi Jerinx *kumaha aing lah*, tanya mengapa… zzZzz

“Superman Is Dead itu band, inspirasi, pembuka wawasan baru buatku.” ~ Citra

“3 Berandalan tampan dari bali penaebar teror bagi mereka yang fanatik terhadap keseragaman. Sebagai fans, aku tidak mau jadi fans yang hanya nongkrong di backstage hanya untuk ketemu mereka, aku tidak mau Idolaku menjadi biasa saja. Rela berbohong demi ke backstage tanpa ngerti arti lagu-lagu mereka, itu bukan aku.” ~ Marsha

“Love them when they were 90s. Cuma sekarang kurang suka dengan musiknya, tapi tetap suka dengan pribadi personel, visi dan misi mereka. That’s it. Perbedaan makna outsider & “outsider”. “Outsider”, sesuai apa yang SID bilang sendiri, sebuah ide yang kebal, tanpa jumlah, tanpa kuantitas, tanpa keanggotaan, tanpa embel-embel semiotik, tanpa ciri khas, namun memiliki eksistensi & substansi yang kokoh jika ditalar lebih mendalam. Tapi kalo outsider (yg tanpa tanda kutip) cukup menyebalkan & saya rasa bukan saya saja yang merasakan itu. Tapi gue tetep salut sama SID. Dia dikontrak mayor label tapi masih bisa lawan mereka dengan kandungan lirik waktu album Black Market Love. Itu hal yang bagus, for sure. Juga lirik2 nya yang out of the box bagi band-band Indonesia. Keterampilan Jrx yg mendominasi lembaran lirik juga bisa diacungi jempol, ketika hal-hal yg biasa kita jumpai sehari2 diubah menjadi sebuah kalimat-kalimat yang mudah diingat tp sulit disusun. Cukup sekian dan saya ganteng.” ~ Bani Adam

Tulisan ini memang sengaja saya dedikasikan untuk SID, band lokal dan membanggakan kurang lebih 9 tahun menemani kehidupan saya, ya semacam orang tua ke 2 lah dan kelak nantinya bisa dibaca anak gue hahahaha… sebuah perpanjangan tangan seni sebuah pemberontakan dan sadar busana, itulah SID yang memainkan musik Punk Rock pengaruh Green Day, NOFX pada masa awalnya. Plus terkontaminasi racun rockabilly karena Social Distortion. Tetap band Punk Rock dengan image Rockabilly. Dan Saya Tampan, sekian.

*rapikan rambutmu, nak*

Taken From :
http://illsurrekshun.wordpress.com/2012/01/20/sid/

Senin, 09 Januari 2012

Sedikit cerita tentang kontroversi munculnya SUPERMAN IS DEAD di major label :)

TimeLine Story !: Semacam report, agar visitor mendapat informasi apa yang sebenarnya terjadi, semua terangkum, juga opini dari beberapa orang.
Pelan pelan aja bacanya biar semua kebaca, thx.

Q : Bisa cerita tentang apa yang terjadi di Medan dan Jogja?
A : Secara ringkas, SID diperlakukan sewenang-wenang di kedua tempat tersebut. SID dipaksa turun dari panggung dengan cara "barbar" seperti dilempari batu, botol Bir, bambu runcing, kayu, air kencing dibungkus plastik, dan segala bentuk kekerasan fisik. Perlu diketahui, si oknum pelaku kekerasan hanya segelintir jika dibanding dengan para pro-SID (baik di Medan maupun Jogja) yang turut bernyanyi sejak awal hingga akhir pertunjukan. Yup, 99% penonton turut bernyanyi selama SID manggung baik di Medan maupun Jogja. Belum lagi jumlah penonton yang amat membludak di kedua kota tsb. Cuman, yang segelintir anti-SID ini bener-bener agresif dalam mengungkapkan ketidaksukaannya. Atmosfir pertunjukan jadi berubah menjadi ladang pembantaian. Sebuah penindasan hak asasi. Kami sampai berpikiran, demokrasi sudah mati di scene Punk Rock Indonesia.

Q : Kenapa sampai sedemikian kasar sikap yang ditunjukkan oleh itu para anti-SID?
A : Kami tak berani berandai-andai di sini. Tapi dari selebaran yang kami dapatkan di Medan di situ tertulis ajakan untuk memboikot SID. Antara lain kata-katanya: "Menjadi Rock Star adalah pilihan. Menjadi Punk Rock Star adalah pengkhianatan." Kami jadi tersenyum membacanya. Rupanya Punk Rock sekarang sudah banyak peraturan, begitu pikir kami. Buat kami, jika merasa tidak suka dengan SID mah silakan aja.

Go ahead. Monggo. S'il vous plais. Tapi tak perlu tak benar secara hukum + melanggar hak asasi manusia--sampai menggunakan kekerasan dalam menunjukkan ketidaksukaan. Apalagi sampai menganggap diri mewakili seluruh Punk Rock scene dan membinasakan segala varian lain dari Punk Rock yang berbeda dari Anda. Itu adalah refleksi Unilateralist. Persis George W. Bush. Merasa mewakili Amerika dan merasa berhak memusnahkan para oknum yang berbeda pendapat dengan Amerika versi George W. Bush.

Sementara yang di Jogja, kurang jelas benar apa sebabnya. Bisa jadi latar belakangnya sama dengan yang di Medan. Namun yang paling jelas tersimak dari peristiwa Medan dan Jogja tsb adalah miskinnya pemahaman pada makna demokrasi dan hak asasi manusia serta gejala awal premanisme musikal.

Q : Apa yang membedakan antara insiden di USU Medan dan UPN Jogja?
A : Di Medan, SID setelah sekitar 6 lagu langsung menyudahi pertunjukan. Situasi sudah sangat tak terkendali. Persis kayak perang aja. Bambu runcing, kayu, botol bir, botol aqua berisikan air kencing, batu-batu besar dan kecil, berserakan di panggung. Suasana juga agak gelap. Amat riskan jika pertunjukan diteruskan. Kami tak berani mengambil resiko.

Di Jogja, setelah dua lagu pertama, terjadi huru-hara, pertunjukan dihentikan sebentar. Lampu kemudian dinyalakan. Terlihat jelas tampang-tampang itu para pemuda yang tak paham demokrasi dan buta tata krama (saat Tinka beraksi selain terus melempar benda-benda keras ke panggung tanpa henti mereka meneriakkan kata-kata bejat macam "lonte, sundel, ngentot", dsb, kepada Tinka. Malah sampai setelah pertunjukan sekalipun Tinka masih didorong-dorong dan dikata-katai oleh itu para Unilateralist). Kami jadi berpikir, mereka punk rocker atau preman sih? Preman aja masih bisa menghargai wanita, tapi mereka yang saat itu berada persis di depan panggung? Duh, ini sebuah preseden buruk bagi kemaslahatan Punk Rock. (Catatan: peristiwa sejenis pula terjadi saat SID manggung di Surabaya. Sarah, satu-satunya wanita di kontingen SID saat itu, juga diperlakukan amat tidak manusiawi malah ada yang berteriak hendak memperkosa dia oleh segelintir manusia yang mengatasnamakan Punk Rock. Hingga detik ini Sarah tak mau lagi hadir di konser-konser Rock (selain di Bali) karena masih trauma dengan kejadian di Surabaya tsb).

Nah, lanjut yang tadi, setelah lampu dinyalakan suasana jadi terang benderang. Belajar dari pengalaman di Medan kami melihat keadaan akan lebih bisa dikendalikan jika seluruh lampu dinyalakan sehingga oknum-oknum yang melempar bisa terdeteksi dan jika terjadi situasi kritis kita tinggal ambil aja itu oknum pelaku kekerasan. Memang sih saat SID kembali melanjutkan pertunjukan lemparan-lemparan masih tetap ada namun masih bisa ditanggulangi (he he... lucu juga sih liat Bobby dan Eka sambil nyanyi sambil berkelit sana-sini menghindari batu yang liar beterbangan).

Q : Apa bisa dibilang para perusuh itu mewakili suara Punk Rock Medan dan Jogja?
A : Nggak ngerti deh. Yang jelas seperti kita bilang tadi mereka adalah tipikal Unilateralist/Fasis/Nazi/salafi Radikal, telah merasa mewakili kelompoknya lalu seolah diberkahi "license to kill" oleh Tuhan Punk Rock dalam membinasakan orang yang berbeda konsep dengan mereka. Saat di Medan, setelah pertunjukan datang ke penginapan kita sosok macam Roy Romero dari Brontakzine, Army Clown, Cranium dan Underdog. Mereka bilang peristiwa tadi tak mewakili suara Punk Rock Medan. Begitu juga saat di Jogja, setelah pertunjukan datang Burhan ke belakang panggung (konon, Burhan ini adalah salah satu dedengkot Punk Rock Jogja). Burhan menyesalkan peristiwa tersebut dan tegas-tegas bilang bahwa para pelaku bukan dari Punk Rock scene Jogja.

Di penginapan juga kemudian datang Endank Soekamti, Shaggy Dog, dll. entah siapa, yang senada dengan Burhan hendak mengklarifikasi bahwa peristiwa di UPN tsb bukan mewakili scene Jogja. Sebenernya buat kita masalah suka gak suka itu adalah hak masing-masing. Namun dalam menerapkannya harus disertai kedewasaan. Sekalian belajar berdemokrasi. Jika orang lain suka sementara kita gak suka jangan lalu menganiaya kemerdekaan pihak yang bersuara beda dengan kita. Contoh sosok demokratis adalah Jimmy "Punk", yang di Jakarta disebut sebagai salah satu "Mbah"-nya Punk di Jakarta. Tanpa harus punya persepsi sama tentang Punk, kita enak aja bergaul satu sama lain. Ya saat SID di Jakarta, ya saat Jimmy di Bali, SID dan Jimmy adalah sahabat dekat. Soal musik? Nanti dulu. Kita satu sama lain gak sepakat, beda pendapat. Tapi secara personal kita adalah sahabat. Hey you Unilateralists, begini ini demokrasi paling sejati.

Q : SID dibilang banci karena gak berani melanjutkan pertunjukan di Medan. Tanggapan Anda?
A : Dibilang banci, pengecut, dll, ya terserah deh. Coba aja kita tuker posisi, mereka yang berada di atas panggung, dan kita jadi pihak yang melempari mereka. Kalo mereka bisa lewat sampe 6 lagu, acung jempol tinggi-tinggi deh. Saat di Jogja itu, saat kita mundur ke belakang panggung nyusun strategi, para perusuh juga meneriaki SID banci, he he... yang banci sebenernya siapa? Beraninya cuman rame-rame trus pake bawa-bawa batu lagi.

Tuker posisi yuk, kalo gitu. Mereka di atas panggung (tetep rame-rame), SID di bawah panggung ( tetep bertiga aja) sambil bawa batu, botol bir, aqua isi air kencing, dsb. Selama non-stop 30 menit SID ngelemparin mereka. Gimana, seberapa "pahlawan" sih mereka pada?

Q : Berkaca dari kejadian sejenis begini kira-kira apa ada hubungannya dengan masuknya SID ke major label?

A : Entahlah. Lagipula, apa yang salah dengan major label? Rancid aja masuk major. Bayangin jika Sex Pistols, Ramones dan The Clash gak masuk major, wah, mungkin Indonesia baru tau yang namanya Punk Rock tahun 2000-an ini. Justru gara-gara mereka masuk major (yang notabene pendistribusiannya lebih menggurita ke penjuru dunia) Punk Rock akhirnya bisa dikenal di Indonesia. Dan faktor ke-2 SID bergabung dengan major adalah menjadi sosok realistis. SID pengen sepenuhnya hidup dari bermusik. Di Indonesia, jika ingin sepenuhnya hidup dari musik pilihan paling realistis menurut SID adalah bergabung dengan major. Apalagi SID bukan band tajir. Jika berkiprah terus di jalur Indie karir bermusik kita gak bakalan kemana-mana.

Bakal mentok di situ-situ aja. Itu yang SID alami sendiri bertahun-tahun. Lain persoalannya jika kita masih minta duit ama ortu, main musik cuma untuk euforia sesaat, ya bisa aja kita berkoar-koar tentang seberapa luhur suci etos D.I.Y. (bukan "Do It Yourself" tapi "Do It Your-parents" he he...). Dan dari apa yang sudah SID lihat selama ini, biasanya oknum-oknum yang ngaku paling underground tsb saat beranjak dewasa (baca: harus cari kerja), ortu mereka udah ogah mensubsidi mereka, udah deh, "karir" Punk Rock mereka habis juga di saat yang sama. Hanya sedikit yang mampu bertahan sesuai dengan apa yang digembar-gemborkannya sejak mula. Dan itu pun oh sangat-sangat sedikit yang benar-benar hidupnya bersumber dari musik tok. Mutlak diketahui, SID sudah sepenuhnya lepas dari subsidi ortu, sudah sepenuhnya ingin hidup dari musik, ya kita lalu memilih bergabung dengan major. Bedanya, kita tidak menyodorkan demo ke label manapun (major, minor, indie, major indie, whatever). Jika orang lain melakukannya (ngasih-ngasih demo ke label) silakan aja, itu pilihan berkesenian mereka dan ini negara bebas. Tapi SID tidak. Sebab SID pengen sejak awal posisi satu sama lain, antara SID dan major adalah sejajar.

Bukan bak hierarki atasan dengan bawahan. Yang biasanya terjadi, setelah sebuah band nyodorin demo ke label segera saja hierarki atasan dengan bawahan instan terjadi. Label saat itu juga cenderung merasa punya otoritas luar biasa dalam menentukan arah hidup si band. Ini musti dikurangi, itu musti ditambahi, ini cocoknya dengan itu. Segala bentuk peraturan muncul kemudian dari pihak label. Dari si band sendiri terang aja gak bisa bersikap lain kecuali manut. Bagaimana tidak, sejak awal kondisinya emang bak atasan dengan bawahan. Si band yang perlu pada label. Hierarkinya tak sejajar. Lain soal jika dari awal posisi satu sama lain berimbang. Tak ada yang lebih berkuasa di sini. Segala keputusan harus melalui kesepakatan bersama.

Nah, banyak yang buruk sangka dengan pilihan SID bergabung dengan major. SID langsung divonis bersekutu dengan iblis. SID spontan mendapat sebutan "pengkhianat". Padahal jika paham pra-kondisi, pra-sejarah SID bergabung dengan major (saksi hidup dari "luar" komunitas SID dan melihat perjalanan lengkap SID, paling kompeten ada 2 orang yaitu Felix "Pause" mag dan Wendi "Razzle" enterprise who have been there since day one, jika kita boleh nyebut nama) bisa jadi reaksi yang muncul akan berbeda. Tidak instan memvonis dengan sebutan ultra negatif. Malah yang akan muncul justru sebuah penghargaan pada perjuangan SID sebab masih sanggup menggabungkan sikap realistis sekaligus tetap teguh mengibarkan idealisme di saat yang sama. Sekali lagi, jika memang serius bermusik dan memang pengen hidup dari musik tentu saja main musik selalu dibayar pake tengkyu, dibayar Vodka, sekadar uang transport, wah, dijamin 100% pasti gak bakalan cukup untuk menopang hidup!

Eh, ngomong-ngomong, di Punk Rock itu berlaku standar ganda ya? Kok Sex Pistols, The Clash, dan Ramones, selalu mendapat maaf dan terus dicintai oleh Punk Rock scene atas keputusan mereka gabung dengan major. Sementara band lain yang gabung dengan major pasti langsung dicap "sell out", pengkhianat, axis of evil, dsb. How come?

Q : Apa tak punya kecurigaan bahwa major hanya memanfaatkan Punk Rock yang lagi booming di seluruh dunia lalu menjadikan SID sebagai "proyek percontohan" di Indonesia? Um, masih ingat "trend Ska"?

A : Ah, kita gak pernah ribet berpikir sejauh itu. Satu sama lain punya kepentingan berbeda. SID punya kepentingan meneruskan karir bermusik. SID hanya ingin terus berkesenian. Urusan distribusi, promo, rekaman, biar label yang ngurusin. SID cuma pengen fokus berkarya, mencipta lagu, manggung mengekspresikan diri. Jika label misalnya punya agenda tertentu ya biar aja. Selama wilayah berkesenian kita gak diintervensi ya kita mah damai-tentram-kerta-raharja aja.  Jangan pernah lupa, ini tahun ke-8 SID bermusik Punk Rock. Bagi SID Punk Rock itu selalu ada, tak terpengaruh trend. Persis seperti fenomena Doc Martens atau Levi's 501. Ketika sedang mencapai puncaknya Doc dan 501 dipakai oleh hampir seluruh remaja dunia, termasuk SID sendiri. Oleh media massa fenomena Doc & 501 dikategorikan sebagai trend. Ketika peminat Doc dan 501 surut di kalangan remaja, SID masih terus memakainya. SID tidak mengikuti kecenderungan yang terjadi pada remaja lainnya. SID tidak membebek pada "what's in" dan "what's out" yang ditulis media massa. Analoginya kira-kira macem begitu deh. Hey, look, we're not gonna give up the thing (read: Punk Rock) that we've been doing for the last 8 years just because the media tagged it as the year 2000 "it" thing!

Q : Bergabungnya SID dengan major menyebabkan SID memperoleh ekspos yang melebar ke penjuru Nusantara. Di lain pihak menurut Punk Rock purists ekspos berlebih adalah haram hukumnya bagi band Punk Rock.

A : SID sendiri sudah melakukan self-censorship dalam menekan ekspos agar tak berlebih.SID pribadi memang kurang menyukai gempita selebriti-selebritian. Jarang banget liat SID di tivi, kan? Emang sengaja kok (kecuali jika konsepnya cocok dengan perspektif berkesenian SID baru deh SID menyanggupi tampil). Biar kata jutaan tawaran nongol untuk tampil, SID bersikeras meminimalisir ekspos berlebih. Begitu juga dengan media cetak. Kita selektif hanya menyanggupi kerjasama dengan majalah tertentu. Begitu pula jadwal manggung.

Kita bener-bener meminimalkan tampil terlalu sering di suatu kota dan lebih mengutamakan tampil di daerah yang belum pernah dikunjungi. Semua itu maksudnya agar SID tak over-exposed. Tapi apa mau dikata, popularitas tetap tak bisa ditahan. Ketika sudah saatnya membludak ya membludak aja. Iya, terjadinya begitu saja. Natural aja. Apa pun bentuk self-censorship yang kita lakukan. Sepertinya berjuta antisipasi yang kita terapkan tak sanggup membendung minat publik pada SID. Ya akhirnya gini deh, SID terkesan mengeksploitasi Punk Rock. Padahal sebenernya semuanya berjalan alami saja.

Q : Musik SID sekarang penggemarnya kebanyakan ABG dan anak SMA. Payah.
A : Oh ya? Berarti selera anak SMA adalah cemen, jeblok secara kualitas seni, gitu? Kalo emang iya begitu, kok banyak band berebutan agar bisa tampil di acara PL Fair? Bukankah PL Fair itu acara pensi SMA? Dulu, asal tau aja, salah seorang SID pertama kali dikasih hadiah cd MXPX di taun 1995 oleh cewek Amrik berumur 12 taun! Padahal di Nusantara ini MXPX oleh sebagian khalayak dipandang sebagai sosok sakti mandraguna.

Sementara di Amrik MXPX adalah konsumsi ABG. Apakah itu berarti MXPX adalah band buruk? Pula, ketika sebuah band berhasil menjual album sebanyak 1 juta kopi dan di saat yang sama ada 4 kritikus musik menganggap bahwa album band tsb jelek. Apakah mutlak berarti 999,996 orang yang membeli album tsb adalah orang goblok semua dan justru 4 kritikus itulah yang paling paham musik? Is that so?

Q : Apa pendapat SID tentang Kapitalisme?
A : SID gak mikirin soal tetek bengek Kapitalisme. SID minum bir, mengekspresikan diri lewat musik, dan bergembira. Nggak peduli dengan Kapitalisme Cap Go Meh.

Q : Lalu apa tanggapan SID ketika sebuah band Jakarta saat diwawancara di sebuah radio nuduh SID sebagai Agen Kapitalisme Internasional?

A : He he... mungkin band tsb lupa bahwa 99,9 % radio-radio yang ada di Indonesia adalah bagian integral dari Kapitalisme itu sendiri. Bagaimana tidak, kelangsungan hidup hampir seluruh radio di Indonesia itu bergantung pada iklan Lux, Pepsodent, Rinso, dll keluaran korporat toiletries bernama Unilever, juga korporat macam Djarum, Bentoel, dll, yang jelas-jelas perusahaan-perusahaan tsb adalah ikon masif Kapitalisme. Mendiskreditkan Kapitalisme di corong Kapitalisme? (Lupa kali ya itu Jaksa Agung Muda Urusan Pidana Kapitalisme sedang berada di Kota Madya Kapitalisme?), apa itu band memang figur pemberontak Kapitalisme nomor wahid atau malah sekadar pendekar mabok gak paham esensi Kapitalisme dan berpikiran jika sebuah band kencang meneriakkan anti Kapitalisme artinya band tsb adalah band ultra cool?

Pernah juga terjadi--contoh ironis yang lain nih, saat beberapa personel SID main ke Hard Rock Cafe Jakarta bersama sahabat asal Swedia, Erik (seorang aktivis Punk Rock yang notabene militan anti major label sekaligus kenal amat dekat dengan komunitas label Punk Rock Swedia, Burning Heart, dus kawan sepermainan dengan band macam Satanic Surfer). Malam itu Erik mengenakan kaos SID. Eh, tiba-tiba dia dideketin ama seseorang yang tampaknya gerah melihat Erik memakai kaos SID lalu segera saja menceramahi Erik dengan petuah-petuah yang intinya mengatakan bahwa SID itu bukan refleksi dari Punk Rock. Punk Rock yang benar itu seperti ini seperti itu. Erik yang notabene “1000%  sadar Punk Rock" jadi geli sendiri. Bukan karna petuah Punk Rock yang dia amat paham.

Tapi berceloteh tentang seberapa luhur suci Punk Rock di tempat macam Hard Rock Cafe (baca: ikon besar Kapitalisme)? Oh, come on, man...! Kita datang ke Hard Rock Cafe cuma untuk bersenang-senang, melepaskan diri dari kepenatan metropolitan, nggak peduli lagi soal Punk Rock Cap Go Meh. We come here to have fun. We don't care about Punk Rock, Capitalism, or else. Drinking beers and having a good time fun. Period. Miris, kan, ngeliat sang oknum "penegak ajaran Punk Rock" bersabda tentang Punk Rock di Hard Rock Cafe? Lupa kali ya itu Nabi Punk Rock sedang berada di Kapitalismepolitan?

Tentang oknum yang "tergerak hatinya" saat melihat orang lain menggunakan kaos SID, terjadi di sebuah universitas di bilangan Jakarta mana gitu. Begitu melihat ada yang pake kaos SID, wih, langsung saja mereka, kalangan cerdik cendikia Punk Rock itu, memaksa agar kaos tsb dilepaskan lalu ramai-ramai membakar itu kaos SID. Kasian banget itu yang make kaos SID yang tak mengerti apa-apa diperlakukan sedemikian sewenang-wenang. Mahasiswa, tulang punggung bangsa, kok bisa ya berbuat sedemikian opresif? Demokrasi sudah mati di tempat mana demokrasi terus bising didengungkan?

Balik ke inti persoalan, SID gak ambil pusing dengan cap Kapitalis atau sejenisnya. We drink beers, crank up Rock 'N Roll and have big time fun!

Q : Sensitif nih, SID pernah berkata "Fuck Javanese"?
A : Ini adalah sebuah fitnah paling keji yang pernah SID terima. Terakhir malah kami baca di "Info Musik Gratis" ada seseorang yang dengan seenak jidatnya menuduh bahwa SID anti orang Jawa tanpa punya bukti sahih (kata oknum tsb setiap kali SID di panggung bakal selalu ngomong: "Fuck Javanese!". Whoa! Emang dia pernah nonton SID manggung?). Padahal kan perbuatan macam begitu termasuk delik pencemaran nama baik dan bisa dilaporkan ke polisi agar diproses secara hukum. Saat di Surabaya juga banyak yang terprovokasi dengan isu murahan "Fuck Javanese" ini sampai-sampai SID dilempari ketika manggung di acara Volcom Skate Jam-O-Rama. (Paling inget gimana raut muka Zhewex, vokalis Karpet, duh pekat berlumur benci dan doi adalah salah satu orang yang paling aktif memprovokasi massa).

Dendam sih kita kagak. Cuma heran aja, kenapa orang bisa semudah itu termakan isu yang gak jelas juntrungannya. Apalagi ketika kemudian kami tau bahwa hal yang membuat massa kalap adalah konon kami benci orang Jawa. Anjist. Apa pula ini? Look, sederhana saja, jika SID emang anti-Jawa kenapa musti sengaja main di Surabaya? Bukankah itu bunuh diri namanya?! Atau mau bukti lain? (Paling males sebenernya meng-counter gossip murahan kayak begini, tapi karena sudah sebegitu banyak yang termakan isu ini ya udah kerjain aja. Ugh!) Setiap kali SID main di luar Bali (Jakarta, misalnya) maka SID akan memakai crew yang diambil di Pulau Jawa (Jakarta). SID gak bawa crew dari Bali. Crew yang ada di Jawa tsb terdiri dari berbagai suku yang ada di Indonesia. Dan buat SID, kami sepaham dengan Goenawan Mohammad; kami menyebut diri "Universalis"; tak dibatasi sekat suku, ras maupun agama. mo dari Jawa kek, Sumatra kek, Badui kek, planet Mars kek, silsilah demografis itu bukan halangan dalam berinteraksi. Asal tau, crew SID yang ada di Pulau Jawa asal mulanya adalah sohib-sohib SID yang lalu direkrut jadi crew. Mau bukti tambahan? Coba sekali-sekali main ke Poppies, tempat SID ngumpul.

Pernah denger istilah "melting pot", kan? (bagi yang belum tau, melting pot = muara interaksi multilateral; wadah asimilasi berbagai varian ras, suku, agama) Nah, Twice/Suicide Glam di Poppies Lane 2 tempat kita hang out tsb ya memang merupakan muara tempat bergaulnya bukan cuma antara Jawa+Bali+Sumatra+Sulawesi+daerah Indonesia lain, malah dengan skala lebih lebar yaitu mencakup berbagai suku bangsa. Jika SID memang punya sifat Xenophobic (anti orang asing), nggak mungkin dong tempat hang out kita bisa sampe sebegitu "Bhineka Tunggal Ika". Atau kalo mo saksi hidup, coba hubungi majalah Hai, Kawanku, Poster, MTV Trax, mantan anggota Puppen, vokalis Fable, manajer Superglad, Rebek, atau siapa saja yang memang benar-benar pernah ke Twice/Suicide Glam.

Tanyain mereka satu hal, "Apa bener SID anti Jawa?". Mereka pasti jawab, "Ke laut aja lu!" Next question, please? We got fed up replying this stupid gossip!

Q : Oleh beberapa orang SID dianggap tak layak mendapat award. Mereka bilang derajat musikalitas SID jauh dari istimewa. SID juga tak mengerti sound??

A : Apa kita berbicara prog-rock di sini? Hey, kita tak bicara presisi di sini. SID adalah band Punk Rock. Punk Rock itu musik tiga jurus (baca: sederhana). Selebihnya "attitude-heavy" alias kolosal mengedepankan attitude. Gak semata tentang musik an sich. Dan SID sejatinya gak banyak berubah. Baik dari elemen musikal maupun prilaku. Sejak jaman indie hingga kini. Ketika Bobby menyanyi kadang masih suka kepleset alias fals. Jerinx--terutama kalo kebanyakan minum bir--sesekali suka lengah menjaga tempo. Eka giliran asyik jejingkrakan suka lupa menjalankan tugasnya sebagai vokal latar.

Buat kami hal macam begitu bukan aib. Tapi itu adalah SID yang asli. Kami tentu saja berusaha tampil maksimal. Tapi gak terlalu ngoyo agar show jadi amat sempurna. Kami biarkan aspek manusiawi tetap mengambil peran di situ. That's what Punk Rock is about. Look how Sex Pistols were. They didn't even know how to play. We are not Sex Pistols. But we truly agree with the whole concept of Punk Rock that they once invented. Furthermore, saat mempromosikan pertunjukan pun yang SID muntahkan ke publik justru propaganda yang tak mengungkapkan seberapa hebat SID, justru sebaliknya. Contoh:

Um, we ain't talkin' about sophisticated, exotically structured, top-notch music here.

Hell no.
We're talkin' more about:
Unschooled, slick-as-hell Punk pagans
Young urban noise purists with untrained ears, untrained skills
Avid beer-drinkin' socio-cultural
Maximum Rock 'N Roll energy
Adrenalin OD gig
and
F**k-you attitude"

***Diambil dari promo acara "Black Heart: Tales From Goth-Punk Suburbia", 13 Februari 2003.
***Propaganda ini dibuat oleh SID sendiri.
Nah, bagaimana, apa ada SID nyebut diri sakti mandraguna? Iya, coba perhatikan saja kalimat "we ain't talkin' about sophisticated, exotically structured, top-notch music here" dan kata-kata "untrained skills" "f**k you attitude" di situ. Salah besar jika Anda berharap dari SID akan mendapatkan pertunjukan "sempurna" layaknya band-band ternama Indonesia.

Begitu juga tentang sound, SID selalu jujur bilang ke soundman kita (Albert, Yoni, atau Dera) juga ke orang lain (paling gampang tanyain Wendi atau Felix deh) bahwa kita nggak ngerti sound dan kita masih belajar (perhatikan propaganda "Black Heart" utamanya kata-kata "untrained ears" dan "f**k you attitude"). Makanya jika orang lain lantang berteriak bahwa SID nggak ngerti sound pasti kita bakal terus terang bilang, "Iya nih, kita memang masih belajar ttg sound". Cuman, berkaca dari pengalaman, yang seru adalah saat kita main di acara Puma Street Games di Senayan, September 2002--waktu itu masih indie. Oh Sid Vicious Yang Maha Esa, penonton kelojotan moshing seanjing-anjingnya saat SID beraksi di panggung! Padahal, man, jangan tanya seberapa buruk mutu suara yang muncrat dari sound system. Jangan tanya seberapa kacau balau tempo permainan SID waktu itu. Tapi coba liat reaksi penonton, total beautiful chaos! They didn' give a flying f**k about sound system Cap Go Meh. And it really made The Almighty Sid Vicious cracking up his big Punkrock-ish smile. Nah, kawan, fenomena apa ini?

Antiklimaksnya, kenapa saat SID sign up sama major (5 bulan setelah Purna Street Games) tiba-tiba ekspektasi publik kepada SID langsung melonjak hebat lalu berharap mendapatkan sesuatu yang "sempurna"? Lucu, bukan? Coba, apa bisa kita ngerti sound cuma dalam rentang 5 bulan? Apa bisa bermusik "sempurna" dalam hitungan 5 bulan? Mustahil dong. Tapi tenang aja, kawan, SID tentu akan terus belajar memahami sound dan bergiat belajar bermusik. Makin ke depan semoga makin jago main musik. Selebihnya yang musti diingat di sini adalah pengetahuan ttg sound atau kemampuan menguasai instrumen yang mumpuni bukanlah satu-satunya faktor utk mampu "mencuri" perhatian publik. Ada banyak faktor yang saling berkaitan. Jadi yang penting diketahui: SID ya emang kayak begini ini. Dalam konteks musikal, sudah sedikit lebih baik dibanding saat manggung di Puma Street Games, September 2002. Jika punya ekspektasi yang lebih dari bagaimana SID sekarang ini, jika ingin melihat band yang secara musikal tanpa cacat, kami sarankan Anda mulai memutar Dream Theater saja di stereo Anda. Jika masih belum puas, hubungi segera Sony Music Indonesia serta ofensif protes ke mereka: "Kok sign up SID sih? SID itu band jelek!" setelah itu tawarkan band Anda ke mereka. Mari sama-sama tunggu reaksi Sony seperti apa. Adil, bukan?

Sekarang tentang award yang diberikan kepada SID. Perlu dipahami, SID nggak pernah yang namanya mendaftarkan diri agar dicalonkan dalam award-award tsb. SID juga nggak pernah menghasut penggemar SID agar kirim SMS ke MTV Award atau juri AMI Award biar SID menang. Tau-tau aja SID menang di ke-2 award tsb tanpa SID sumbang andil sama sekali. Barangkali penggemar SID yang pro-aktif voting untuk SID (dan untuk itu SID besar terima kasih pada fans atas segala susah payahnya). Dari SID sendiri award itu tak membuktikan apa-apa. Sebab mendapatkan award bukanlah tujuan bermusik SID. Maka itu, yup, SID gak pernah dateng ke award-award tsb. Jika orang lain menganggap award itu penting, silakan, ini negara bebas, do whatever you feel like. SID nggak terlalu ambil peduli dengan award Cap Go Meh.

Q : SID band OKB (Orang Kaya Baru)?
A : Ha ha... pernah main ke Bali dan ngeliat langsung keseharian personel SID? Bobby itu rumahnya di gang dan gak punya motor. Eka itu tinggal di kos-kosan bareng istri dan bayinya. Jerinx sendiri tak bisa dikategorikan borju. Doi cuma kelas menengah. Eh, kalopun ke depannya nanti SID jadi band kaya apa gak boleh? Band Punk Rock dilarang hidup sejahtera? Buat SID mencapai tingkat hidup yang lebih memadai bukan hal haram asal saja tak melenceng dari garis idealisme yang dianut selama ini.

Sejujurnya, SID bosen miskin he he... Next question, please!

Q : Pendapat SID tentang kaos yang banyak dijual di lapak-lapak seperti "Fuck SID", "Superman Is Dead Is Dead"?

A : Biasa aja. Siapa pun berhak mengekspresikan apa yang ada di hatinya. Bahkan si Eka (bassist SID) ikutan beli baju "Fuck SID" dan dipakainya manggung di Senayan seraya tak lupa bilang, "You say fuck you, we say thank you!" (di kesempatan manggung berikutnya, juga di Senayan, penggemar SID malah ikutan make kaos yang kayak dipake Eka! He he...).

Hanya yang agak mengganggu dan tak adil di sini, ekspresi ketidaksukaan ini kok justru dibisniskan. Selain kepentingannya sudah bisa, bukankah itu sama dengan "menari di atas penderitaan orang lain"?

Q : Kok Punk Rock glamour?
A : Huh? Look, acuan kita dalam berbusana adalah band macam AFI juga Stray Cats, Living End, Supersuckers, Reverend Horton Heat, Rocket From The Crypt, dan band-band Rockabilly lainnya. Acuan SID lebih ke Punk Rock Amerika yang lebih kental nuansa Rock 'N Rollnya Pula cenderung non-politikal. Lebih mengedepankan fun. Iya, apa Punk Rock harus jarang mandi? Apa Punk Rock harus stereotype seperti Punk Rocker yang banyak bertebaran di King's Road, London? Kenapa tiba-tiba ada kata "harus" di wilayah Punk Rock yang notabene esensi hakiki Punk Rock adalah menjadi manusia bebas merdeka? Heran, Punk Rock kok banyak peraturan ya...?

Q Tarif SID mahal!
A : Tarif SID sekarang 10 juta. Dan itu hanya berlaku untuk acara komersial, dengan sponsor besar. Jika konser yang dibikin oleh mahasiswa atau bersifat DIY, SID rela dibayar seadanya bahkan gak dibayar (lucu ya, di Indonesia ini jika band main gak dibayar berarti band tsb cool, anti kapitalis, merakyat, dsb. Padahal kalo bener-bener mo hidup dari musik mana bisa sih terus-terusan bertahan hidup dengan tengkyu?).

Waktu SID main utk acara anak Mpu Tantular, Moestopo, Unpar, dsb, SID hanya dibayar sekedarnya aja. Malah saat main di Buqiet Cafe - Bandung SID gak dibayar sama sekali. Dikasih bir dingin doang. Nah, apakah itu sebuah prestasi? SID = band ultra cool karna rela gak dibayar?

Q Tiket pertunjukan SID mahal!
A : Ah, kita juga bingung orang-orang itu maunya apa. Saat main di Jogja dengan tiket Rp 20 ribu dibilang kemahalan. Dikasih Rp 7,500 bikin rusuh. Digratisin, rusuh juga. Bilangnya tiket Rp 10 ribu kemahalan tapi beli Vodka 2 botol kok mampu? Phew.

Q : SID band sombong?
A : Punya pertanyaan lain yang lebih berbobot? Males banget jika persoalannya melulu interpretasi. Pak Raden misalnya, secara visual pasti kita berpikir bahwa doi orangnya galak dan/atau angkuh. Padahal belum tentu kan? Udah ah, males ngerespons yang kayak ginian. Lagian udah panjang lebar diskusi kita. Sudah sampai di sini aja ya!

---Berikut adalah beberapa komentar dari pihak lain---

>>> DENNY SIHOTANG
LIVE SID di Medan SUPERMAN IS DEAD, DEAD, DEAD !!!

Terlepas dari prestasi SID mendapatkan predikat artis Pendatang Terbaik AMI Award, aku mau cerita sedikit soal penampilan mereka di Medan, Selasa 7 Oktober  2003 di areal Pendopo Kampus USU Medan.

Malam itu SID tampil menjadi guest star di depan sekitar 7000 an audience. Kenapa bisa demikian ramai? Boleh jadi karena even gratisan. Tapi boleh jadi juga karena nama besar SID itu sendiri. Penonton yang hadir juga beranekaragam, dari cewe-cewe wangi dan kece, abege-abege, sampai pada segelintir orang yang memang mengerti musik. Terlepas dari itu semua, rasa penasaran pengen liat live nya SID aku rasa yang membuat penonton berjubel.

Dibuka dengan teriakan Horasss Medan, tanpa basa-basi, SID langsung menggeber dengan sebuah lagu yang aku tak tau pasti judulnya, tapi pasti berasal dari album bad... bad... bad... sayangnya, baru hitungan ke 30 soundsystem ngadat karena daya listrik kurang (kali aja). Buktinya, gak lama kemudian listrik hidup lagi. Sayangnya, SID langsung maen geber aja, langsung ganti lagu, bukannya mengulang lagu yang pertama mereka mainkan. Rumor bakalan adanya serangan terhadap gigs SID ini ternyata bukan hanya isapan jempol. Memasuki tengah lagu kedua, aneka sumpah serapah mulai nyaring terdengar. Kata-kata makian yang ditujukan ke si PUNK ROCK STAR semakin menjadi. Lemparan aneka benda berbahaya (air kencing dalam botol air mineral, sendal, batu, bambu panjang, sampai pada tai... yang ini belum diketahui kebenarannya, bisa jadi hanya sekedar lumpur. cuma karena udah gelap, orang bisa menyangka sebagai kotoran manusia). Malah, ada beberapa penonton bekerjasama menggendong seorang temannya, dan saat si teman di atas dia langsung membuka resleting celananya dan (maaf) menunjukkan kemaluannya sambil berteriak : ini sama kalian!. Ampun deehh...

Memasuki lagu ketiga, serangan bukannya mereda, malah semakin menjadi. Bambu panjang yang sebelumnya digunakan sebagai tiang ikatan umbul-umbul sponsor semakin banyak berterbangan ke stage. Sampai-sampai personil SID mesti goyang sana-sini untuk menghindar. Sayangnya, entah karena tertekan (atau memang kualitas cuma segitu...?) permainan SID makin gak menentu arah. Beberapa kali tempo musik yang mereka mainkan kejar-kejaran. Plus, soundsystem yang mati-idup beberapa kali. Penonton makin brutal dan chaos semakin jadi. Tak hanya SID, panitia yang di depan stage juga kena makian dan ludah penonton.

Usai lagu keenam (kalau tak salah kira), tanpa basa-basi SID ngabur kebelakang panggung. Rupanya penonton yang kontra dengan mereka sudah mengantisipasinya dan langsung menguber sang PUNK ROCK STAR ke belakang panggung. Aku sempat melihat seorang penonton, berambut gondrong dan sedikit emosi mengejar kerumunan personil SID dan security panitia. Si gondrong aku lihat sempat menghadiahkan sebuah bogem mentah (sayangnya aku gak tau siapa yang mendapat hadiah tak diharapkan itu, entah personil SID atau panitia). Mobil tumpangan mereka juga dipukul-pukul dari luar.

Begitu SID menghilang, panitia yang sebelumnya cukup banyak itu juga menghilang. Stage ditinggalkan dalam keadaan kosong. Mereka cuma berani memantau dari kejauhan.

Sesudahnya, kubu yang pro dan kontra SID kemudian membuat koalisi. Kelihatannya mereka kecewa berat dengan live SID malam itu. Dari kubu pro, boleh jadi mereka tidak puas menonton pujaan mereka sambil bermoshing ria. Sedangkan dari kubu yang kontra, boleh jadi mereka belum puas melampiaskan emosi dan marah mereka. Karena minim pengamanan (tak satupun keliatan aparat kepolisian ataupun TNI, mungkin karena di dalam kampus) penonton semakin brutal. Umbul-umbul yang berdiri di sisi kiri dan kanan jalan dibakari. Beberapa spanduk di depan stage juga dicopoti dan dibakari.

Untunglah audience tidak terpancing semakin jauh. Walau samar-samar masih terdengar teriakan-teriakan : ayo kita kejar mereka ke Sumatera Village, sebuah resort sekitar 15 km dari lokasi pentas, tempat SID menginap. Aku sendiri gak tau pasti, apakah mereka memang benar-benar mengejar sampai kesana malam itu.

Seiring waktu berjalan, audience sepertinya baru tersadar kalau pesta sudah usai. Satu persatu mulai beringsut pulang. Api yang sempat berkobar pelan-pelan juga mulai padam. Sekitar 2 jam kemudian, patroli polisi memasuki lokasi kampus, mengawal kru panitia mengemasi stage dan soundsystem. Bagaimana dengan SID? Apa yang ada dalam pikiran mereka? Apa opini mereka soal audiece Medan? Soalnya lemparan kali ini berbeda dengan "lemparan khas" penonton Medan yang berarti salut, atau angkat tangan kepada permainan sebuah band. Lemparan mereka kepada SID malam itu memang benar-benar menunjukkan kalau mereka tidak suka, benci, dan dendam. Entah karena apa. Aku gak tau pasti. Yang pasti, pro dan kontra itu dimana-mana selalu ada. Tapi apakah PUNK itu mesti brutal, chaos, dan DEAD???

Malam ini (Rabu, 8 Oktober 2003) mereka akan manggung di Jogja bareng Endank Soekamti dan beberapa band lain. Bagaimana dengan audience Jogja? Mohon kabar dong...? Bad... Bad... Bad... Sad... Sad...Sad...

>>> ALIENUX

sound system ngadat memang benar dan itu disebabkan kurangnya daya listrik serangan 2 terhadap SID yang memang udah di persiapkan oleh orang orang yang kontra terhadap SID (menyebarkankan pamflet saingan untuk memboikot gigs tersebut Para personil SID mengetahui hal itu tapi tidak meruntuhkan semangat mereka untuk tetap bermain di medan pada saat itu dan akan datang). Penonton yang melakukan kekekrasan hanya berkisar 20-30 orang punkers yang tidak mengerti punk yang berada di sisi panggung sebelah kiri namun mereka terus memprovokasi cara kekarasan bahkan dari beberapa panitia dan crew SID ikut terkena lemparan walaupun tidak menibulkan korban luka,tidak adanya aparat kepolisian di gigs tersebut di karenakan otonami kampus yang tidak memungkin kan adanya polisi. SID berhenti karena stage manager dari panitia yang meminta untuk segera menghentikan aksi panggung mereka karena panitia melihat bahwa lemparan lemparan dari segelintir orang itu sudah membahayakan tidak ada yang mengejar SID ke tempat mereka menginap di sumatra village yang ada hanya band band pendukung gigs tersebut yag datang bertamu dan nongkrong bareng dengan SID .bagi SID kejadian ini tidak akan membuat mereka jera untuk main lagi di medan bahkan meraka berkata kami cinta medan maka kami akan tetap tampil lagi di medan bung !!! konfirmed by ALIENUX yang berada langsung di atas panggung dan merasakan langsung lemparan batu penonton . . cheers, beers punkrock in your ears

>>> FELIX

"We just loved to play and didn't care about anything else. It was very surreal, being wandering around, being part of this big circus." (Chris Joannou - Bass Player of Silverchair. Courtesy of Tomorrow Never Knows, The Silverchair Story, written by: Jeff Apter, Coulomb Communications 2003)

Waktu itu, hari beranjak larut. Sekitar pukul 10 malam. Waktunya untuk pulang ke rumah. Mengakhiri hari. Tapi, ada satu keinginan tertinggal, pergi ke warnet. Cek email sebentar, browsing beberapa gambar aneh untuk kepentingan bisnis, dan menghabiskan waktu seraya menunggu mata kehilangan kekuatannya. Setelah di warnet, mulai membuka satu demi satu tujuan semula, ada sebuah surat yang masih sangat-sangat segar masuk ke salah satu mailing list yang saya ikuti. Tajuk surat itu lumayan menggugah saya untuk membukanya dengan segera. Saya lupa persisnya seperti apa, tapi isinya tentang salah satu band lokal yang berhasil mencuri rasa kagum yang terdapat di dalam diri ini, Superman Is Dead.

Tanpa pikir panjang, saya buka email itu. Pengirimnya, saya masih ingat, Wendi. Seorang kritikus musik, seorang metalhead lokal kelas atas (yeah, ini cuma penafsiran dari masa lalu di dunia maya), dan seorang yang sangat dihargai di scene lokal Indonesia. Satu demi satu baris terpampang dalam waktu yang tidak terlampau lama. Setelah lengkap, saya mulai membacanya. Cerita yang dikirim Wendi merupakan forwarded email dari sebuah milis lain, kebetulan saya juga menjadi anggotanya. Tapi, entah kenapa saya tidak membuka milis tersebut malam itu. Cerita yang disuguhkan merupakan semacam laporan aksi panggung Superman Is Dead di Medan.

Perjalanan membaca dari satu baris menuju baris berikutnya sangatlah tidak nyaman. Dikisahkan di sana,Superman Is Dead mendapatkan perlakuan yang sangat tidak layak dari publik Medan. Mereka memang mendapatkan lemparan khas orang Medan (konon, orang Medan biasa melempari artis musik yang dianggap penampilannya bagus. Entahlah, saya belum pernah menyaksikannya langsung). Tapi kali ini, bukanlah lemparan tanda salut yang mereka biasa lakukan. Tapi lemparan tanda penghinaan. Lemparan tanda benci. Lemparan tanda nggak suka.

Dikisahkan satu demi satu spanduk beterbangan ke arah panggung. Bahkan di dalamnya ditulis juga mungkin kotoran manusia ikut terbang menuju ke arah mereka. Akhirnya Superman Is Dead mengakhiri penampilan mereka pada lagu ke enam. Ditulis di situ, mereka memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan repertoir karena keadaannya memang sudah sangat tidak memungkinkan untuk melanjutkan pertunjukkan. Tapi kemarahan penonton tidak reda. Mereka masih berusaha untuk mengejar Superman Is Dead ke belakang panggung. Aura kekerasan sudah sangat membumbung tinggi waktu itu. Setelah melalui keadaan chaos yang sudah semakin tidak terkendali di venue, rombongan Superman Is Dead berhasil menyelamatkan diri keluar dari venue. Tapi, masih menurut cerita itu, penonton masih tidak puas. Mereka mulai meneriakkan agar mereka dikejar terus sampai ke penginapan. Untung, pada akhirnya hal ini tidak terjadi.

Cerita pertama berakhir di sini. Saya terperanjat begitu cerita ini sampai di bagian akhir. Tidak percaya. Kecewa. Nggak bisa terima. Wah, campur aduk rasanya perasaan saya waktu itu. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengambil ponsel di tas dan mengirim sebuah pesan singkat ke sebuah nomor ponsel
+62817978XXXX, begini bunyinya: Dude, just read a fwded email from Wendi in SG groups.. Did u have a very fucking bad gig in Medan? The Story was so spooky. You have to see it asap. Cheerio..

Itu adalah salah satu nomor ponsel Rudolf Dethu, manajer Superman Is Dead. Malam itu, mereka juga punya sebuah jadwal di Yogyakarta. Ia tidak membalas. Saya pulang ke rumah. Sekitar pukul 1 dinihari saya mematikan ponsel saya. Sudah saatnya tidur. Paginya, saya bangun sekitar pukul 10 pagi. Begitu saya aktifkan kembali ponsel saya, sebuah sms masuk. Waktu pengirimannya 02:09:35. Sang pengirim: Dethu. Ini balasan sms saya semalam. Begini bunyinya:

Bkn cuma Medan. Jogja juga rusuh. Sudah takdir SID he he... Tapi di Jogja klimaksnya bagus krn SID berdiri tegak menantang! Don't worry, dude.We ain't gonna give up! Saya kaget. For god sake, they've faced two nights in a row with some bloody bastard that ruined their gigs. What the fuck??? Saya langsung membalas sms itu.

Wow. It must be a hard time 2 face 2 nights in a row with some chaos. Btw, i think u have to pass along this news. Some clarification, maybe. Be strong, man..

Singkat cerita, saya mendapat kabar yang sama sekali tidak mengenakan itu di pagi hari dan jujur, dari lubuk hati yang paling dalam, sebagai seorang penggemar saya marah. Tidak pernah bisa menerima apa yang dilakukan para perusuh itu pada salah satu band yang saya gilai. Sekitar pukul 4 sore, ponsel saya berdering, tertera Dethu yang memanggil. Saya angkat. Kita ngobrol. Ia menanyakan apa saja yang tertulis di email itu. Dia juga bercerita tentang pertunjukkan di Yogya. Hal yang hampir sama terjadi kembali. Dethu mengisahkan bahwa mereka memang dilempari. Bahkan Bobby pun sempat mendapat bogem mentah dari penonton, walaupun tidak keras. Tapi, ironisnya pada akhir pertunjukkan seorang tokoh punk lokal yang cukup disegani -salah seorang teman Jerink juga-, namanya Burhan datang menghampiri mereka di belakang panggung. Burhan mengklarifikasi bahwa yang melakukan kekacauan itu bukanlah bagian dari anak punk Yogyakarta. Burhan mengaku tidak tahu siapa yang melakukan itu. Yang jelas, bukan komunitas Punk Yogya.

Lantas saya bertanya pada Dethu, "Elo tau nggak sih apa yang sebenernya salah pada diri kalian?" Dia menjawab, "Nggak. Nggak jelas kenapa kita diginiin." Saya sudah menduga alasan itu yang akan keluar dari mulut dia. Sepanjang pembicaraan selama hampir 5 menit itu, saya cuma bisa berkata: "Anjing!" selama beberapa kali menyusul rasa panas saya pada cerita Dethu tentang perlakuan penonton pada Superman Is Dead. Saya hanya bisa menggolontorkan ide untuk membuat sebuah t-shirt bertuliskan 100% Superman Is Dead. Sederhana.

Perkenalan langsung saya dengan band ini dimulai sekitar awal tahun 2002. Sebelumnya yang saya dengar hanya beberapa rilisan mereka yang tidak pernah saya dapatkan. Waktu itu, saya mendapat kabar bahwa mereka akan merilis sebuah EP (kemudian akan menjadi EP fenomenal mereka, Bad Bad Bad) yang merupakan rilisan penuh mereka yang ketiga. Pertengahan tahun, saya pergi ke Bali. Liburan. Saya memaksakan diri untuk datang ke Poppies Lane 2, markas mereka. Tujuannya:membeli kaos Superman Is Dead dan EP Bad Bad Bad. Dan, saya mendapatkannya. Saya ingat, waktu itu kopi terakhir yang ada di Twice Tape (toko rekaman milik Jerink) adalah kopi yang saya pegang sampai hari ini.Waktu itu, semua personil Superman Is Dead kebetulan ada di tempat itu dan sang kasir menawarkan tanda tangan semua personil di CD yang saya beli. Saya pikir, "Kenapa tidak?" Akhirnya saya kembali ke hotel, memutar CD tersebut di CD player saya dan...terkagum-kagum. Persentuhan kedua terjadi ketika band ini manggung di Jakarta akhir tahun 2002. Kebetulan saya juga mendapat sebuah tugas dari tempat saya bekerja untuk menulis tentang mereka. Saya harus menjalin komunikasi dengan Dethu sebelum datang dan mewawancarai mereka. Wawancara itu sendiri berjalan mulus. Saya membeli lagi sebuah kaos Superman Is Dead dengan harga khusus dan memenuhi undangan Dethu untuk datang ke kamar  hotel Bobby yang tidak jauh dari venue pertunjukkan. Kami berjalan kaki. Berdua. Ia bercerita tentang banyak hal. Terutama tentang kiprah Superman Is Dead. Hari itu berakhir ketika saya memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat lain. Saya menutupnya dengan sebuah sloki peletokan (entah apa saja campurannya) dalam botol Red Label.

Setelah itu, saya hanya berkomunikasi dengan mereka lewat email. Tidak lebih. Hal yang paling prestisius adalah ketika sebuah email masuk ke inbox saya. Isinya sebuah konfirmasi bahwa mereka akan bekerja sama dengan sebuah mayor label lokal berskala internasional untuk 6 album ke depan. Ada sebuah hal yang jauh lebih membanggakan lagi, mereka mendapatkan kontrak ini tanpa sebuah penjajahan. Jadi, murni kerja sama. Bukan terdapat sebuah struktur hirarki majikan dan bawahan. Superman Is Dead mendapatkan sebuah kontrak yang sangat besar artinya untuk band yang berangkat dari bawah seperti mereka. Hebatnya pihak label yang mau mengejar mereka. Superman Is Dead tidak pernah mengirimkan sekopi pun rekaman atau demo mereka. Si produserlah yang mati-matian meyakinkan mereka agar mau bekerja sama. Lalu hal yang paling spektakuler pun terjadi. Mereka berhasil memaksa pihak label untuk menuruti keinginan mereka yang bersikeras tetap menggunakan lirik-lirik berbahasa asing di sebagian besar lagunya. Sepanjang pengetahuan saya, hanya Pas Band yang berhasil melakukan hal itu di album kedua mereka In (No) Sensation. Setelah itu, satu demi satu hal mencengangkan masuk kedua telinga saya. Mulai dari artwork album yang sangat bebas dan sepenuhnya dikerjakan oleh pihak Superman Is Dead hingga ke video klip yang dibuat salah satu sutradara lokal Bali. Buat saya, itu adalah sebuah prestasi yang sama sekali susah untuk didapat sebuah band lokal yang baru pertama kali berbaju label mayor.

Superman Is Dead punya konsep. Mereka punya sebuah posisi tawar yang sejajar dengan sang label. Jerink suatu kali pernah berkata bahwa mereka tidak menganggap sebuah masalah jika harus merilis album dengan tangan sendiri lagi. Tapi, tidak juga menutup sebuah kerja sama dengan label mayor. Itulah yang tidak banyak diketahui orang. Mereka memulainya dengan sebuah konsep musik yang jelas, sebuah positioning yang bagus, dan tentunya attitude yang bagus.Tapi semuanya seolah berputar terbalik ketika album baru mereka resmi dirilis ke pasaran. Awalnya beberapa kolega mengkritik kualitas rekaman yang cenderung terdengar pop dan akan jauh lebih baik jika mereka mengerjakannya sendiri di kampung halaman dengan studio jelek. Bukan studio maha mutakhir milik label. Mereka menerimanya. Toh, itu namanya kritik. Bukan penjelekkan. Bagaimana juga, kritikan paling bagusmemang datang dari teman. Mereka akan obyektif menilai sebuah karya. Karena memang semuanya murni, tanpa pretensi macam-macam. Superman Is Dead menyadari kekurang sempurnaan yang mereka miliki dalam rekaman Kuta Rock City. Kalau secara materi album, tidak banyak yang berkomentar. Soalnya, lebih dari setengah lagu di album ini adalah lagu-lagu lama yang sudah pernah dirilis sebelumnya.

Kelar dari kecaman keras beberapa kolega yang menyerang kualitas album mereka, Superman Is Dead mulai menghadapi sebuah tantangan yang besar. Oleh karena publisitas yang sangat besar (diawali ketika mereka terpilih menjadi MTV Eksklusif artist bulan Juli), kiprah band ini pun semakin tersorot oleh media secara luas. Penggemar-penggemar baru pun mulai bermunculan. Kebetulan mereka memainkan musik Punk yang sedang tersedot habis oleh tangan tidak kasat mata bernama Tren. Jadilah Superman Is Dead sebuah ikon punk lokal yang paling menonjol menurut penggemar baru tersebut. Padahal pada kenyataannya tidak ada satu pun ikon punk yang menonjol. Tidak ada satupun yang lebih hebat dari yang lainnya.Di sisi lain, orang-orang dari scene tempat mereka berasal mulai gerah. Beberapa dari mereka merasa Superman Is Dead telah melacurkan sebuah agama bernama Punk kepada sebuah label mayor yang kemudian menjadikan mereka mesin kapitalis. Mesin pengeruk uang. Padahal, mereka sama sekali kekurangan informasi yang baik, proporsional, tepat, layak, dan benar tentang kiprah band ini.

Mulailah muncul satu demi satu anggapan bahwa Superman Is Dead adalah budak kapitalis dengan bergabung dengan mayor label. Superman Is Dead bukan punk lantaran bersedia bergabung dan menjadi sebuah bagian dari mayor label dan industri musik mainstream. Superman Is Dead bukan underground lagi. Superman Is Dead cuma cari uang. Superman Is Dead menjual punk pada masyarakat kapitalistik Indonesia. Bla, bla, bla... Hal ini seolah semakin terakomodir begitu situs mereka www.supermanisdead.net resmi dibuka. Lama kelamaan message board dan guest book mereka menjadi tempat sampah bagi sebuah perang yang tidak jelas antara pendukung dan pembenci mereka. Pada awalnya, manajemen band ini berusaha untuk menanggapi satu demi satu keluhan yang masuk. Termasuk menjual konsep freedom to speech dan freedom to act. Dethu dan Ade Putri berusaha melayani semua keluhan yang masuk ke telinga mereka. Tentunya juga berusaha untuk mengklarifikasi setiap tuduhan yang masuk ke tubuh Superman Is Dead. Berusaha meluruskan fakta-fakta yang terdistorsi entah berapa ratus persen.

Tapi usaha itu sama sekali tidak berhasil. Ibaratnya,mereka berdua hanya menabur garam di lautan luas. Pihak-pihak yang merasa punya hak untuk menjadi hakim tanpa status berusaha untuk menjatuhkan Superman Is Dead. Mereka tidak goyah. Dethu dan Ade Putri memang telah mengurangi serangan balik mereka terhadap para penyerang. Tapi tidak dengan usaha ekstra keras mereka untuk tetap menjadi punkers-punkers sejati. Bagi orang-orang seperti saya yang sudah menjadi penggemar mereka sejak mereka belum menjadi seperti sekarang ini tentunya sangat sedih. Ketika ratusan bahkan ribuan orang menuduh mereka berubah, menjadi tidak underground lagi, dan berbagai tuduhan miring lainnya, seolah-olah mereka tidak lebih dari penjahat paling kejam. Kejahatannya: menjual Punk!

Banyak orang tidak mengerti secara pasti bagaimana kelakuan sebuah konspirasi bernama Superman Is Dead ini. Sudah terlalu banyak bukti yang bisa dikedepankan untuk menjawab berbagai macam tuduhan yang mampir ke Superman Is Dead. Tapi sayang, kesempatan tidak pernah mampir juga untuk mereka menjelaskan semuanya. Saya sendiri punya berbagai macam memori tentang mereka yang berhasil menancapakn sebuah state of mind bahwa mereka adalah teman, idola, dan partner. Coba saja seandainya orang banyak tahu berapa banyak orang yang masuk dalam guest list mereka setiap manggung. Berapa banyak uang tambahan yang harus keluar dari kantong mereka hanya sekedar untuk beli bir tambahan karena jatah bir dalam riders pertunjukkan mereka sudah habis. Bagaimana mereka menjual kaos dengan harga murah lantaran tidak enak hati kepada teman. Bagaimana marahnya mereka ketika tahu panitia Clear Top Ten Award menaruh segerombolan penari bodoh untuk mendukung penampilan mereka tempo hari (akibatnya mungkin kerasnya muka Bobby ketika berteriak lagu ini untuk Cheerleader yang ingin jadi Punk Rock Star sembari menunjukkan telunjuknya ke arah mereka). Masih banyak lagi bukti yang pantas dikedepankan untuk menjadikan mereka kontra dengan berbagai tuduhan itu.

Makin jelas, mereka yang mencela, menghina, berusaha menghancurkan, menjatuhkan karakter Superman Is Dead sama sekali bukan orang yang mengerti mereka dengan baik dan benar. Bagi saya, dalam posisi seorang penggemar, karakter mereka tidak akan pernah berubah. Mereka masih orang-orang lama yang saya kenal sebelum mereka menjadi jauh terkenal seperti sekarang ini. Mungkin adalah sebuah hal yang sangat perlu jika suatu saat mereka duduk bersama-sama di sebuah meja yang sama dengan berbagai macam pihak yang mengecam tingkah laku mereka yang terstigma dalam sebuah cap negative produksi omong kosong pinggir jalan. Duduk bersama, ngobrol bagaimana punk itu seharusnya, bagaimana menjadi pemusik yang baik dan benar, kemudian menggelar konfrensi pers bersama-sama apa akhirnya pembicaraan itu. Tapi, akankah semua menjadi selesai dengan begitu saja? Saya pernah membayangkan, mungkin di dalam alam pikirannya masing-masing, 4 orang anggota Superman Is Dead (plus Dethu), pasti punya pemikiran sederhana.

Awalnya mereka memulai ini hanya untuk bersenang-senang. Memainkan lagu-lagu mereka di depan orang banyak. Dalam pandangan obyektif, yang mereka lakukan adalah bermain musik, jadi mereka hanya pantas disorot dalam segi musik. Tidak lebih. Selebihnya, itu adalah masalah lain. Ketika menengok ke perkataan Chris Joannou di atas, saya yakin ada di antara mereka yang berpikiran seperti ini sekarang. We just loved to play... Nggak lebih. Felix. Seorang penggemar, teman, partner bisnis Superman Is Dead. ekonomi membuat kami mendefinisikan otonomi pada mesin fotokopi

>>> WENDI

jujur, gue males banget ngomentarin ketololan-ketololan para patriot punk yang berkelakuan fasis kayak gitu. Sangat mundurr... topik major label, pengkhiantan g 30 s pki, bla bla bla juga kontraproduktif. bukan sok naif, tapi sempetlah gue "berproses" kayak gitu sebelomnya. cuma kayaknya kok hal begituan belom tuntas aja di sebagian punk medan ama jogja. ini menurut gue, katakan kalo gue salah. di jakarta sendiri, patriot punk penolak SID juga banyak banget dan gue tau pasti itu. beberapa godfather punk sini yg punya ribuan massa pengikut loyal juga sempet diskusi dengan gue masalah SID_SID-an ini. mereka ini udah puluhan tahun ngepunk di jalanan (1987+) dan sering banget direpresi aparat hanya karena menjadi seorang punk. waktu itu kita diskusi hot banget kayak film bokep. argumentasi pun tajam-tajam kayak gelang spike. tapi semuanya kelar sampe disitu.......mereka gak ambil pusing, asli gak ambil pusing….SIDmo masuk major label, kek, SID dapet award, kek, SID manggung ditonton 40.000 orang, kek. bodo amat. mereka absen disitu. sementara, di saat yang bersamaan dengan kejayaan SID, hidup mereka tetap keras di jalanan dan tetap beroperasi secara D.I.Y. mereka sadar dan mereka pun sangat waras kalo band mereka ain't going to be the next big thing! band mereka tidak akan kemana-mana. dan ini adalah PILIHAN mereka. malah ada yang udah jadi JALAN HIDUP segala. buat gue inilah namanya KEDEWASAAN. respek bgt gue ama mereka. tetap setia sampai akhir dalam keyakinan, tanpa harus repot-repot ngurusin sesuatu yang udah jadi PILIHAN orang laen adalah sikap elegan. intinya, mind your own fucking business ajalah! lalu boikot pun bukan berarti datang ke konser sid untuk berkelakuan kayak preman. boikot 'yang baik dan benar' adalah dengan tidak datang ke konser SID! karena kalo datang, apalagi sampai berada di barisan terdepan adalah FANS namanya. lho, lalu apa arti itu semua? ternyata pemukulan, pelemparan, flying sources, eksibisi genital, kata-kata kotor adalah sebuah aksi dan bentuk apresiasi yang tergolong avant-garde belakangan ini. niscaya bakal menjadi trend sepuluh tahun lagi. kasus ini sama halnya ketika dunia tercengang-cengang melihat kebrutalan penonton di mosh pit sekitar dua puluh tahun yang lalu. nah, sekarang jadi hal yang lumrah, kan? bahkan pak warno, seorang polisi bogor pun bisa berkomentar "ah, itu mah tradisi  mereka" waktu asyik santei ngejagain sebuah konser metal di sana tempo hari. ini bakal laen kalo konteksnya konser dangdut yang sangat tipikal itu....."pusing saya," katanya. mungkin demikianlah fenomenanya, sodara-sodara. gue sendiri tahu SID  sejak tahun 96, sekitar setahun setelah mereka terbentuk. waktu itu gue nonton konser mereka langsung di bali dalam acara total uyut. moel, seorang scenester metal kugiran di sana dengan bangganya menceritakan band ini scr berapi-api ke gue. Waktu itu masih meng-cover lagu orang (who didn't?) dengan dress-up yang...duh! even jerinx sendiri sempet tersipu-sipu waktu gue ceritain hal ini tempo hari. gue gak banyak komentar waktu itu ttg SID ini. dalam hati gue, lu bisa temuin puluhan atawa mungkin ratusan band yang kayak gini di jakarta dan bandung. ya, dalam situasi kayak gitu under-estimate kadang2 perlu... sementara kita di jawa sibuk dengan scene masing-masing. SID juga makin keras latian dan sibuk manggung sana-sini di seputaran bali. menurut dethu, malah sempet ditonton tiga orang doang. itu udah termasuk dia dan temen ceweknya yang jadi penggembira. jiing, berarti penonton aslinya cuma satu orang doang! singkat kata, singkat cerita. gosip tentang sid makin mengganas di ibukota. mulai dari yang drummernya bule, konser di aussie, sampe manggung bareng nofx dan social distortion di bali, semuanya mampir di kuping gue. sial, sempet shock juga pas tau gosip ini ternyata makin menggila dan berubah menjadi mitos. u know myths.....even seorang malin kundang aja bisa jadi batu. wiii, mengerikan! Tapi begitulah adanya. band ini awalnya (buat anak-anak di jakarta atau mungkin bagian lain pulau jawa) memang diBESARkan oleh mitos! Makanya jangan heran kalo ada gosip mereka rasis apalagi pernah sesumbar FUCK JAVANESE, itu cuma MITOS! di laen sisi, kehebatan SID dalam mengolah mitos menjadi sesuatu yang berimplikasi positif bagi band juga mesti diacungin jempol. Mungkin mereka scr gak sengaja mengimplementasikan mitos organizing atau bias jadi mereka (dethu exactly) sangat aware dengan teori-teori propaganda ala goebbels? who knows? yang pasti, invasi yang dilakukan sid di ibukota udah berhasil. karena sebelumnya, band bali mana selain eternal madness yang bias dikenal disini? dan itu pun masih terbatas di kalangan metalheads doang. who's putting bali on the map? siapa yang memicu a&r label-label rekaman major sini jadi pada bergenit-genit ria dengan band-band bali? hahaha.. Gue gak suka kuta rock city (stupid major label record, very poor onmixing), gue juga benci banget ngeliat mereka tiap kali manggung jelek. tapi gue suka band ini. mereka udah bekerja keras banget untuk bisa mencapai ini semua. ini mesti dihargai. gue juga sangat yakin mereka udah paham semua konsekuensi dari menceburkan diri ke dalam industri. industri yang melakukan fabrikasi "melodic/pop punk" seperti saat ini. cuma ada satu hal mengganjal, apakah semua ini akan menjadi "trend ska" selanjutnya atau gimana? jika ya, well, bersenang-senanglah, guys....your fifteen minutes of fame, maybe couldn't last forever!  prove you right, prove 'em wrong...... inhale/exhale, wenz
ps: felix, tulisan lo bagus tuh! enjoy it so much. minus semua bullshit ttg gue pastinya. metalhead kelas atas? WTF?


>>Arian Arifin
That's why I'm not sure Rancid can play here, y'know what I mean? Punk tentu saja harus selalu menjadi sebuah 'threat', dalam pemikiran, bukan jadi 'threat' fisik. I don't know. gue sendiri sih prihatin kalau sikap chaos jadi membuat ketidaknyamanan individual atau banyak orang. Apalagi didasari oleh berita selentingan, a.k.a. gosip. Norak.

Sure SID is punk rock musically, kalau definisi punk non-punk sendiri siapa sih yang bisa ngejelasin? Sama dengan underground. Gue nggak tahu kalau ternyata memang ada buku panduan 'The Laws of the Underground: Guide to A Perfect Underground Scene'. Uh. Seharusnya mereka baca ya? ^_^

Masalah major-non major, underground-non underground, buat gue udah basi banget, hohoho tentu saja bisa didiskusikan panjang lebar 4 hari 4 malam bahkan lebih. Kalau merasa SID memang, uh, 'membelot', ya sudah nggak usah beli albumnya atau nonton performancenya. Segampang itu kok. "Punk sudah dijual, sekarang ABG trendy aja udah pake gelang dan sabuk spike!" Awww. Get over it, it's soooo last 20 years! Punk sudah terjual sejak Ramones masuk Sire, Malcolm McLaren memperkenalkan Sex Pistols, MC5 dan Iggy Pop di Elektra. Kok baru ribut sekarang? Rancid dengan Warner, Green Day, Bad Religion, etc.

'Selling out', buat gue adalah melakukan hal-hal yang tidak disukai, tapi demi uang melakukannya. Gue pribadi sih nggak melihat SID melakukan hal tersebut. Tentu saja mereka sekarang jauh lebih bisa menghidupi kehidupannya scara album laku 70.000 kopi dan mungkin lebih. Dan nggak salah untuk bisa hidup dari sesuatu yang mereka sukai: main musik. Toh gue nggak pernah denger mereka berapi-api bilang: DIY or DIE! Aaww. In my opinion, punk is about being yourself in this manufactured, fabricated world, dare to be different, and questioning everything. [for instance, Green Day is as punk as Crass in a different way. Blink 182 and His Hero Is Gone. Dita Indahsari and even Garin Nugroho is a punk. So is MTV Jackass and No WTO Home Video.]. Busted, that boy band sure ain't punk.

Gue rasa juga banyak yang sirik kok ke SID. I know a lot of punk bands want to be in SID shoes, so they say bullshits about them. Gue inget betul pas SID dirusuhin di Surabaya, ada anak band lokal yang semangat ikut ngerusuhin. Dia vokalisnya. Pas gue tanya kenapa SID dirusuhin,whoaaaaa. Jawabannya banyak banget.

"Ada apa sih?"
"SID bilang fuck Java dulu!"
"Kapan?"
"Adalah! Mereka nulis 'fuck Java' di studionya?"
"Oh ya? Kok gue nggak pernah lihat ya? Lu sendiri udah pernah ke studionya?"
"Umm, belum sih... tapi temen gue yang liat!"
"Oh, temen elo.. Trus?"
"Gue ditelfon Jopie dari Spills Records marah-marah, katanya SID ingkar perjanjian dengan label indie Spills dan sign sama Sony!"
"Ditelfon Jopie?"
"Ya! Mereka nggak underground lagi dan memilih Sony!"
"Gue deket sama Jopie kok. Dia spesial nelfon elo? Gue nggak tahu lo sedekat itu dengan Jopie. Dia malah nggak apa-apa SID merilis album dengan Sony. Toh dengan Spills mereka memang cuman single saja."
"Ya pokoknya SID tuh ngaco!"
"Ngaco gimana?"
"Sok pake bahasa Inggris, belagu banget!"
"Uh.. kan mereka asalnya juga dari Bali, yang kepake kalo enggak bahasa Bali ya bahasa Inggris... Bahasa Indonesia aja jarang!" "Nah itu mereka suka ngomong 'fuck Java' pas manggung! Dikiranya kita
nggak ngerti apa? Anak anak Surabaya jadi marah!"

"Anak-anak Surabaya? Bukannya mereka baru main pertama kali di Surabaya sekarang?"

"Ah! Pokoknya SID ngaco!"

Uh. Kurang lebih itu perbincangan saya. Sekarang, band Surabaya tersebut sign dengan EMI. Lucu juga setelah dia panjang lebar menceritakan bagaimana undergroundnya dia. Good for him. Lucu juga bagaimana sebuah gosip berkembang pesat dari hanya 1 mulut saja. Bagaimana sampai ke banyak orang? Udah distorsi banget kan. Lucu sekali kali kalau kebanyakan orang biasanya bicara tentang anti penindasan, sekarang menindas dalam bentuk baru.

Gue sepakat banget sama Wendi tentang 'mind your own business'. As long as you don't fuck other people to get your goals, it's allright. I don't think SID fucked people over to get where they stand now. Musically, gue juga sepakat kala 'Kuta Rock City' nggak maksimal. Sayang soalnya. They still can develop though. Iwan Fals era '80an juga musiknya jelek, lirik mungkin tajam, tapi musiknya biasa banget. Opini massa bisa membuktikan? Uh, kayaknya kalau demokrasi, kita memang belum siap. Sampai semua orang pinternya sama, gue pikir demokrasi nggak akan bisa jalan. Walaupun akan selalu saja orang yang lahir lebih pintar dan juga orang yang lahir beg.

Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=189917907696149#!/note.php?note_id=281340835220522

SUPERMAN IS DEAD ARTIS ISTIMEWA YG SEDERHANA MEMBUAT PARA LADY ROSE OUTSIDERS BERBANGA :)

Di balik nama besarnya, tiga personil SID hidup sederhana. Jauh dari gemerlap musisi dengan jutaan penggemar.


Cerita ini saya dapatkan di salah satu web di bali yg terkenal yaitu http://www.balebengong.net/.
 
Cerita berbeda itu saya dapatkan setelah membuat liputan tentang Superman is Dead (SID) untuk majalah Rolling Stone Indonesia. Sebelum liputan ini, saya mengenal SID dan tiga personilnya hanya dari sumber lain. Misalnya dari media massa atau teman mereka yang juga teman saya.
Dalam beberapa kesempatan, saya juga bertemu mereka. Tapi, tidak ada komunikasi secara personal. Hanya say hallo pada mereka, lalu mereka membalasnya. Beberapa kali saya nonton konser mereka, meski saya tak menikmatinya karena pada dasarnya saya memang tidak suka nonton konser bersama ribuan orang. Saya agak takut dengan keriuhan.
Berita media, obrolan teman, dan penampilan di panggung melahirkan kesan (image) di otak saya tentang SID: berangasan, gemerlap, dan selebritis. Kesan itu didukung ikon-ikon yang menempel, sengaja maupun tidak, pada SID dan tiga personilnya: tato, bir, punk, glam, rebel, dan semacamnya.
Awal Februari lalu, band yang lahir di Kuta pada tahun 1995 ini masuk Billboard Uncharted urutan ke-14. Dua minggu sebelumnya mereka ada di urutan ke-23. Masuknya, SID dalam Billboard Uncharted ini karena popularitas dan intensitas mereka di jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, MySpace, dan seterusnya.
Di Facebook, merekalah musisi Indonesia dengan penggemar terbanyak: hampir 1,8 juta fans!
Masuk Billboard karena punya hampir 2 juta orang? Wow! SID di otak saya makin jadi  band yang besar dan gemerlap. Begitu pula dengan tiga personilnya, I Made Putra Budi Sartika alias Bobby, I Made Eka Arsana alias Eka, dan I Gede Ari Astina alias Jerinx.
Tapi, aaah, stigma memang berbahaya. Begitu juga kesan saya tentang mereka. Setelah kenal secara personal, setidaknya lewat beberapa hari reportase, wawancara, dan pemotretan, saya jadi tahu bahwa stigma, kesan, anggapan, dan semua asumsi itu tak sepenuhnya benar.
Sebaliknya, mereka terlalu biasa untuk ukuran band dengan penggemar terbesar di negeri ini sekaligus musisi pertama dari Indonesia yang masuk daftar majalah musik bergengsi dunia, Billboard.

Tanpa Bir
Kesan bahwa SID itu angker pelan-pelan runtuh pas wawancara dengan mereka di Twice Bar, Kuta. Ini wawancara pertama bersama mereka.
Sebelum berangkat, saya sudah berpikir bahwa obrolan tiga jam itu akan dipenuhi asap rokok dan bir. Ternyata saya keliru. Tidak ada bir sama sekali selama wawancara tersebut. Eka si basis dan vokal latar hanya memesang teh hangat. Bobby, vokalis dan gitaris, pesan jeruk hangat. Jerinx, yang juga pemilik Twice Bar malah tidak minum sama sekali. Padahal, hampir tak pernah saya melihat mereka tampil tanpa bir, terutama di Bali.
Beberapa hari kemudian saya baru tahu alasan mereka kenapa tidak terlalu banyak minum bir. “Sudah makin tua. Kami makin mengurangi minum bir. Beda dengan dulu,” kata Bobby.
Di kesempatan lain I Gede Ardi Suryana alis Dodix, manajer SID, kemudian menambahkan cerita tentang ritual minum bir ini. Menurutnya, personil SID paling hanya minum bir ketika akan tampil. “Biasalah ritual kecil,” katanya.
Di luar itu, mereka termasuk jarang minum bir. Jauh dari kesan saya tentang mereka.
Begitu juga dengan rokok. Mereka terhitung tidak terlalu sering merokok setidaknya kalau dibandingkan teman-teman saya yang tukang hisap. Hehe.. Padahal, saya sudah berpikir bahwa selain peminum bir kelas advance, mereka juga perokok berat. Ternyata tidak berat-berat amat. Bobby malah bukan perokok sama sekali. “Hanya kadang-kadang merokok untuk keperluan sosial,” akunya.

Nasi Bungkus
Kesederhanaan SID juga terasa ketika kami bertemu di Radio Hard Rock, Kuta sekitar dua minggu setelah pertemuan pertama kami di Twice Bar. Pagi itu SID siaran di radio sebagai bintang tamu konser Outloud di Central Parkir Kuta.
Ketika saya tiba di sana, di kamar sempit tempat siaran Hard Rock ini sudah ada Jerinx yang memang tinggal di Kuta dan Bobby bersama Dodix manajer mereka. Eka belum terlihat.
Pas siaran sudah berjalan, Eka baru datang. Dia juga bawa sarapan. Sederhana banget yang dia bawa: nasi bungkus! Tepatnya nasi dengan bungkus plastik. Sepertinya ini nasi bungkus beli di pantai Kuta. Sayangnya, saya lupa tanya di mana beli nasi bungkusnya. Hihihi..
Dengan tarif tiap manggung antara Rp 30 juta hingga Rp 50 juta, meski juga kadang gratis kalau teman sendiri, personil SID masih mau makan nasi bungkus seharga Rp 5.000. Salut.
Nasi bungkus pula yang mereka makan ketika kami bertemu Kamis pekan lalu pada sesi foto bersama teman saya, Den Widhana, blogger yang juga web designer dan fotografer.
Hari itu seharian saya dan Deni memotret mereka secara bergantian. Pas jam makan siang tiga personil SID dan beberapa staf manajemen mereka berkumpul di kantor SID di Jalan Seroja, Denpasar Timur.
Kebetulan sekali hari itu juga ada perayaan ulang tahun dua personil SID, Eka yang lahir 8 Februari dan Jerinx yang lahir 10 Februari. Jadi, saya sudah mikir pasti akan ada makanan berlimpah dan mewah. Tapi, walah, ternyata mereka “hanya” makan nasi bungkus.
Ini sederhana apa pelit, sih? Wahaha..

Tukang Rakit
Bobby tinggal di Jl Padma, sekitar Kampus Universitas Ngurah Rai, Denpasar Timur. Rumah kontrakan seluas 2,8 are ini, kata Bobby, hasil main band dan jualan baju.
Hal menarik tentang Bobby adalah hobinya merakit sepeda. Dia mengaku merakit sepeda sejak masih SD. Hobi itu masih dia lakukan hingga saat ini meski sibuk ngeband. Salah satu buktinya sepedanya sekarang yang dia pakai dalam sesi foto. Sepeda ini dia rakit sendiri dari rongsokan seharga Rp 100.000. “Ini buktinya,” kata dia sambil menunjukkan foto rongsokan bodi sepeda di Blackberry-nya.
Rongsokan itu kemudian dia rakit sendiri dengan tambahan perangkat lain, seperti setir, sadel, pedal, dan seterusnya. Total habis sekitar Rp 2 juta. Weleh. Jatuhnya mahal juga, Bli. Hehe..
Selain hobi merakit sepeda, dan tentu saja gowes, Bobby juga suka mendesain. Karena itu dia juga memproduksi pakaian dengan label sendiri, Electrohell. Label ini dia buat bersama Rizal Tanjung, temannya sesama surfer. Sebelum total main musik, Bobby memang surfer. Dia juga membuat desain pakaian surfing sebelum total main musik di SID dan membuat label sendiri.
Bobby juga bercerita SID dulu main dari konser ke konser tanpa bayaran sama sekali. “Dulu diajak main saja sudah senangnya bukan main,” katanya. Honor profesioanl mereka pertama kali adalah ketika tampil di acara Granat, konser ala mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Udayana, Bali.
Waktu itu SID dibayar Rp 400.000. “Pas terima duit itu senangnya bukan main. Waah, bisa juga dapat duit dari tampil,” kata Bobby.
Tapi itu dulu. Sekarang tarif manggung SID antara Rp 30 juta hingga Rp 50 juta. Tapi, tarif ini sangat bisa dinego. Kalau acaranya besar plus banyak sponsor, mereka memang pasang tarif segitu. Kalau acaranya amal, mereka bersedia datang meski hanya dibayar sebotol bir atau setangkai mawar. Hehe..

Tukang Oprek
Selama sekitar 16 tahun membangun band, kini personil SID menerima hasilnya. Begitu pula Eka dengan Harley Davidsonnya. Toh, dia mendapatkan itu semua karena sejak kecil sudah terbiasa bekerja keras.
Tiap kali melihat SID tampil, saya merasa Eka berperan seperti joker, tukang bikin suasana jadi lebih kocak. Dia menghidupkan suasana dengan omongan-omongannya, terutama dalam Bahasa Bali.
Namun, pada sesi foto kami di rumah Bobby, kami minta dia berpose sangat serius dengan menghadap layar komputer. Pose ini disesuaikan dengan minatnya, internet dan komputer.
Sejatinya, Eka memang geek. Dia salah satu pelopor penggunaan internet di Bali. Sejak tahun 2000 dia sudah akrab dengan programming dan coding. Maklum, saat itu dia bekerja sebagai desainerwww.baliaga.com, media harian online milik NusaBali, koran lokal yang sebelumnya bernama Nusa Tenggara.
Eka awalnya lebih banyak bekerja untuk desain grafis. Namun, karena dia disuruh mengelola website, dia kemudian belajar ngoprek website, belajar tentang program, coding, CMS, dan tetek bengek seputar website. Dalam bahasa pekerja teknologi informasi, pekerjaan semacam ini disebut ngoprek.
Hasilnya, dia makin mahir ngoprek website, mulai dari konsep, desain, sampai coding. Eka pula yang membuat website www.supermanisdead.net. “Sampai sekarang juga masih sering ngerjain pesanan website dari teman-teman,” katanya. Untuk mengerjakan pesanan website itu, Eka punya usaha sendiri di www.disposablelies.com. Eka tak mau menggunakan CMS berbasis open source, seperti WordPress, Joomla, dan semacamnya.
“Kalau pakai open source lebih gampang dibobol orang,” katanya.
Untuk semua keahliannya itu, Eka belajar secara otodidak. Dia satu-satunya personil SID yang lulus kuliah. “Karena merantau. Jadi kasian kalau sudah jauh-jauh ke Denpasar tapi tidak lulus kuliah,” katanya.
Eka lahir dan besar di Negara, Jembrana, sekitar 3 jam perjalanan dari Denpasar ke arah Gilimanuk. Kedua orang tuanya guru. Karena itu, dia mengaku punya tanggung jawab untuk menyelesaikan kuliah.
Dan, dia berusaha keras untuk menyelesaikan kuliah itu. Pada tahun kedua kuliahnya, Eka sudah mandiri. Dia bekerja di dua tempat sekaligus. Pagi di kantor Baliaga. Malamnya di tempat lain. “Aku dulu pekerja keras. Keras sekali,” katanya.
Terbiasa bekerja keras sejak kuliah itu membuat Eka juga terbiasa dengan SID yang memulai karir dari dunia indie.

Tukang Ojek
Selama mengenal SID dari media atau cerita teman, Jerinx jadi sosok paling identik dengan SID. Dalam beberapa kesempatan diskusi tentang SID yang saya ikuti, Jerinx hadir mewakili SID. Jadi, kesan dia sebagai frontman memang tak terhindarkan.
Lewat status di Facebook ataupun twit personalnya, Jerinx paling sering mengangkat isu yang bagi banyak orang mungkin kontroversial. Misalnya, radikalisme, kelompok gay dan lesbian,  dan semacamnya. Jerinx terlihat paling keras kalau ngomong. Sayang, saya tak punya cukup waktu untuk ngobrol bersamanya secara personal kecuali ketika bersama teman-temannya.
Namun, selama beberapa hari melakukan reportase tentang SID, saya menangkap hal totally different dari sosok paling gahar dan sangar di SID ini.
Hal yang membuat saya salut pada Jerinx adalah kendaraannya. Dia masih naik motor butut Supra Vit dengan nomor polisi yang sudah memutih. Motornya juga agak dekil. Motor yang sama saya lihat dipakai Jerinx saat kami bertemu di Hard Rock Radio.
Di balik nama besarnya sebagai frontman SID, band dengan fans mencapai 1,8 juta orang plus image tentang anak band yang bagi banyak orang adalah bad boy, penampilan Jerinx di luar panggung biasa saja. Dia lebih mirip tukang ojek daripada frontman band sejuta umat. Hehe..
Kamis pekan lalu, kami berencana memotret dia pas main surfing. Tapi, karena dia ada acara di Ubud, maka kami mengikutinya ke sana begitu selesai berkumpul di kantor manajemen SID.
Dia mau menunggu kami untuk berangkat bersama. Saya merasakan kehangatan dari Jerinx sebagai teman, atau setidaknya tuan rumah pada tamunya. Dia rendah hati sekali.. Sepanjang perjalanan menuju Ubud, Jerinx beberapa kali melambaikan tangan menjawab salam dari orang yang melihatnya.
Di luar urusan musik, Jerinx juga mengelola clothing sendiri dengan label Rumble. Toko ini berkantor pusat di Kuta. Kini dia membuka cabang di Ubud persinya samping pintu gerbang Museum Antonio Blanco di dekat jembatan Tukad Campuhan. Kamis pekan lalu Jerinx ke sana untuk melihat upacara adat (melaspas) toko bercat hitam dan merah tersebut.
Karena sudah sore dan capek setelah motret seharian, saya tak banyak bertanya pada Jerinx yang juga sibuk memeriksa persiapan pembukaan toko. Sore itu toko baru tersebut masih belum berisi apa pun.
Jerinx pernah jadi vegetarian antara 1997-2007. “Tidak tega saja lihat binatang disembelih,” katanya. Tapi, kini Jerinx sudah makan daging lagi. “Tidak kuat juga kalau harus selalu menghindari daging, terutama saat konser,” katanya.
Toh, Jerinx masih menghindari makan daging dari hewan berkaki empat, seperti kambing, babi, dan sapi. Pantangan semacam ini biasanya dilakukan oleh pemimpin agama Hindu di Bali, seperti pemangku dan pedanda. Tapi, Jerinx mengaku mengikuti pantangan ini bukan karena alasan religiusitas. Lebih karena alasan itu tadi, kasihan.
Alasan Jerinx itu kian menguatkan pendapat saya tentang SID dan para personilnya. Di balik gemerlapnya, di belakang jutaan penggemarnya para personil SID ini orang-orang yang amat bersahaja.. [b]

 http://photos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/183812_182977671738813_100000797447933_351962_4258937_a.jpg

TIGA BERANDAL DI BALIK 1,8 JUTA PENGGEMAR


 http://photos-g.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/181520_182977901738790_100000797447933_351963_4862485_a.jpg


BOBBY DI BALIK KESEDERHANAANNYA

 http://photos-f.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/184112_182977968405450_100000797447933_351964_801034_a.jpg



EKA PENGHIDUP SUASANA


 http://photos-d.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/183848_182978028405444_100000797447933_351965_2858022_a.jpg


BERANDAL YG DULUNYA TUKANG OJEK


Sumber :  http://www.facebook.com/#!/note.php?note_id=189917907696149

Album terbaru Devildice "Army Of The Black Rose"

“Our new album Army Of The Black Rose is released today thru Sony Music Indonesia. Get it now at the CD stores near you!”

Begitulah yang tertulis dalam salah satu status jejaring sosial mereka, “DEVILDICE“. Sudahkah kalian mengoleksinya? Dalam album Army Of The Black Rose, terdapat 11 lagu yang menceritakan tentang dunia, kekasih, harapan, psikologis, masa lalu dan kesenangan.





 

1. Army Of The Black Rose, Bercerita ttg dunia dari kacamata kaum nihilis. Dimana mereka merasa dunia ini haus darah, rakus dan kebenaran hanyalah manipulasi teori kebencian. Mereka kesepian. Sangat kesepian.

2. Land Of No Angels, Harapan untuk remaja-remaja broken home agar selalu ingat bahwa cinta ada dimana saja. Belajar melupakan dan memaafkan adalah krusial.

3. Diamonds Are Forever, Dibantu oleh Sari Nymphea pada vokal, Leo dan Kape Suicidal Sinatra pada gitar/kontra bass. Lagu ini terinsprasi oleh duet Cash-June Carter, tentang tak bertemunya dua perasaan yang abadi. Why? Simply coz hidup memang tak pernah sempurna.

4. Nuestro El Misterio, It’s about secrets. The good ones. Hal-hal ‘kotor, liar nan rahasia’ yang kita lakukan bersama kekasih tercinta. Wild things that drives you insane and making you feel like a king for a day. Or night.

5. Never A Saint, Lagu lama DD yang masih relevan masuk di album ini karena struktur lagunya merupakan cetak biru arah musikal DD kedepannya. Tentang pengakuan jika kita memang -kadang- bukan malaikat.

6. True, Kilas balik dan introspeksi. Merayakan rasa sakit dari petualangan hidup, namun bangga dan bersyukur sudah bisa sejauh ini tanpa harus menjadi orang lain.

7. Mad Of This World, Again, dunia dari kacamata seorang nihilis. Lelah melihat tersingkirnya jiwa-jiwa tulus yang bekerja keras untuk dunia yang lebih baik, kalah oleh dinginnya dunia.

8. Love/Drugs, Escape reality, enter the La La Land.

9. Palace Of My Own Disgrace, Lagu terpanjang yang pernah saya tulis. Dibantu Hendra Fish (Telephone) pada gitar. Tentang penemuan identitas dan kesadaran baru yang dipahat oleh derasnya hujan dan sambaran petir dari masa lalu.

10. (Kiss Of The St.Villain) Black Moon Suicide, Ketika seseorang berada di level psikologis yang mendekati teori “percobaan bunuh diri”. Setan tidak terlalu jauh dari saya ketika lagu ini ditulis. I still can smell his breath. Panas.

11. Rock & Roll City, Satu-satunya lagu riang yang saya tulis untuk Devildice. Ditulis tahun 2004 di Hotel Paragon – Jakarta, lagu ini mengingatkan saya akan malam-malam panas, penuh kejutan dan seringkali menjadi rahasia. “Malam-malam” itulah pencipta lagu ini sesungguhnya. Saya hanya menikmatinya. Dari “belakang”

Cheers,
JRX


 

SAVE ORANGUTAN NOW !!!


Mengerikan, ribuan orangutan terus dibunuh tiap tahun, padahal sudah masuk hewan langka yang dilindungi. WWF, The Nature Conservacy, Asosiasi Ahli Primata Indonesia, beserta organisasi swasta lainnya memberi pernyataan ini setelah melakukan penelitian beberapa tahun belakangan.

Pada 2007 silam, sebanyak 750-1.800 orangutan mati di Indonesia. Ribuan kematian orangutan terjadi di tahun-tahun berikutnya. Kemudian, dari hasil wawancara 9.983 responden di 687 desa di tiga provinsi Kalimantan antara bulan April 2008 hingga September 2009, setidaknya ditemukan 750 orangutan tewas dibantai.

Lebih dari setengah responden yang diwawancara bahkan mengaku setelah membunuh, mereka memakan daging orangutan tersebut. Orangutan tersebut dibunuhkarena mengganggu tanaman milik warga. Terutama karena dianggap menjadi hama kelapa sawit.
Menurut hasil penelitian dilakukan Perhimpunan Pemerhati dan Peneliti Primata Indonesia (Perhappi) dan The Nature Conservancy (TNC), April 2008 hingga September 2009, menunjukkan adanya "perebutan ruang" antara manusia dengan orangutan.

Mana Reaksi Pemerintah? 

Ironisnya, belum ada reaksi dari pemerintah atas tragedi ini sedikit pun. Pihak kementerian kehutanan Indonesia juga belum memberi berkomentar mengenai masalah ini. Padahal melihat dari banyaknya bukti tengkorak, kulit, dan bagian tubuh orangutan yang tergeletak berserakan di hutan, ini merupakan fakta yang sangat mengerikan.

Yaya Rayadin, peneliti dari Pusat Peneliti Hutan Tropis (PPHT) meminta Pemprov Kaltim tak menutup mata terkait tragedi ini. Satu hal yang menurut Yaya tak kalah penting adalah anggaran untuk penyelamatan orangutan. Hingga saat ini belum ada kepastian mengenai hal tersebut. “Kita berbicara konservasi orangutan. Tapi apakah ada budgetnya?,” tanyanya.

Dari kacamata pengamat lingkungan Niel Makinuddin, pemerintah juga punya andil dalam kerusakan habitat orangutan. Spesies orangutan dilindungi oleh undang-undang (UU). Tapi, ketika Tata Ruang memaksa habitat orangutan tergerus oleh kepentingan usaha, tidak ada hukum yang mengaturnya. “Padahal orangutan kalau habitatnya dirusak, sudah pasti mati. Entah dikejar karyawan perusahaan atau mati kelaparan,” ujar pengamat lingkungan ini.
Niel mengatakan, pakan dan ruang bagi orangutan merupakan kunci kehidupan. Jika dua itu tak ada, bisa dipastikan orangutan akan pergi mencari tempat baru. “Orangutan makan sawit atau kambiumnya akasia itu temporary, karena bukan itu makanan utama mereka, bisa dilihat dari struktur giginya. Tapi, karena keadaan, sebagian tempat sudah jadi batu bara, sawit, mereka lari,” jelas Niel.




Berdasarkan hasil studi dari tahun 2006 hingga sekarang, penelitian ground survey telah dilakukan bahkan telah berhasil membuat sekitar 74 km transek dan berhasil mengobservasi 1.500 pohon sarang dengan ditemukan sekitar 2.400 sarang orangutan. Dari luasan tersebut, mengacu kepada hasil penutupan kawasan hutan dan ground survey, diperkirakan masih terdapat sekitar 2.500-3.000 ekor orangutan di Lanskap Kutai.

Menengok ke belakang, pada 1990, jumlah orangutan di tanah Borneo diperkirakan mencapai 230 ribu. Pada 2007, angkanya diprediksi 54 ribu. Lalu, pada 2010, khususnya di Lanskap Kutai, menyusut jadi 2.500-3.000 ekor saja. Secara keseluruhan, populasi orangutan Kalimantan diperkirakan tinggal 50 ribu saja.