TimeLine Story !: Semacam report, agar visitor mendapat informasi apa
yang sebenarnya terjadi, semua terangkum, juga opini dari beberapa
orang.
Pelan pelan aja bacanya biar semua kebaca, thx.
Q : Bisa cerita tentang apa yang terjadi di Medan dan Jogja?
A
: Secara ringkas, SID diperlakukan sewenang-wenang di kedua tempat
tersebut. SID dipaksa turun dari panggung dengan cara "barbar" seperti
dilempari batu, botol Bir, bambu runcing, kayu, air kencing dibungkus
plastik, dan segala bentuk kekerasan fisik. Perlu diketahui, si oknum
pelaku kekerasan hanya segelintir jika dibanding dengan para pro-SID
(baik di Medan maupun Jogja) yang turut bernyanyi sejak awal hingga
akhir pertunjukan. Yup, 99% penonton turut bernyanyi selama SID manggung
baik di Medan maupun Jogja. Belum lagi jumlah penonton yang amat
membludak di kedua kota tsb. Cuman, yang segelintir anti-SID ini
bener-bener agresif dalam mengungkapkan ketidaksukaannya. Atmosfir
pertunjukan jadi berubah menjadi ladang pembantaian. Sebuah penindasan
hak asasi. Kami sampai berpikiran, demokrasi sudah mati di scene Punk
Rock Indonesia.
Q : Kenapa sampai sedemikian kasar sikap yang ditunjukkan oleh itu para anti-SID?
A
: Kami tak berani berandai-andai di sini. Tapi dari selebaran yang kami
dapatkan di Medan di situ tertulis ajakan untuk memboikot SID. Antara
lain kata-katanya: "Menjadi Rock Star adalah pilihan. Menjadi Punk Rock
Star adalah pengkhianatan." Kami jadi tersenyum membacanya. Rupanya Punk
Rock sekarang sudah banyak peraturan, begitu pikir kami. Buat kami,
jika merasa tidak suka dengan SID mah silakan aja.
Go
ahead. Monggo. S'il vous plais. Tapi tak perlu tak benar secara hukum +
melanggar hak asasi manusia--sampai menggunakan kekerasan dalam
menunjukkan ketidaksukaan. Apalagi sampai menganggap diri mewakili
seluruh Punk Rock scene dan membinasakan segala varian lain dari Punk
Rock yang berbeda dari Anda. Itu adalah refleksi Unilateralist. Persis
George W. Bush. Merasa mewakili Amerika dan merasa berhak memusnahkan
para oknum yang berbeda pendapat dengan Amerika versi George W. Bush.
Sementara
yang di Jogja, kurang jelas benar apa sebabnya. Bisa jadi latar
belakangnya sama dengan yang di Medan. Namun yang paling jelas tersimak
dari peristiwa Medan dan Jogja tsb adalah miskinnya pemahaman pada makna
demokrasi dan hak asasi manusia serta gejala awal premanisme musikal.
Q : Apa yang membedakan antara insiden di USU Medan dan UPN Jogja?
A
: Di Medan, SID setelah sekitar 6 lagu langsung menyudahi pertunjukan.
Situasi sudah sangat tak terkendali. Persis kayak perang aja. Bambu
runcing, kayu, botol bir, botol aqua berisikan air kencing, batu-batu
besar dan kecil, berserakan di panggung. Suasana juga agak gelap. Amat
riskan jika pertunjukan diteruskan. Kami tak berani mengambil resiko.
Di
Jogja, setelah dua lagu pertama, terjadi huru-hara, pertunjukan
dihentikan sebentar. Lampu kemudian dinyalakan. Terlihat jelas
tampang-tampang itu para pemuda yang tak paham demokrasi dan buta tata
krama (saat Tinka beraksi selain terus melempar benda-benda keras ke
panggung tanpa henti mereka meneriakkan kata-kata bejat macam "lonte,
sundel, ngentot", dsb, kepada Tinka. Malah sampai setelah pertunjukan
sekalipun Tinka masih didorong-dorong dan dikata-katai oleh itu para
Unilateralist). Kami jadi berpikir, mereka punk rocker atau preman sih?
Preman aja masih bisa menghargai wanita, tapi mereka yang saat itu
berada persis di depan panggung? Duh, ini sebuah preseden buruk bagi
kemaslahatan Punk Rock. (Catatan: peristiwa sejenis pula terjadi saat
SID manggung di Surabaya. Sarah, satu-satunya wanita di kontingen SID
saat itu, juga diperlakukan amat tidak manusiawi malah ada yang
berteriak hendak memperkosa dia oleh segelintir manusia yang
mengatasnamakan Punk Rock. Hingga detik ini Sarah tak mau lagi hadir di
konser-konser Rock (selain di Bali) karena masih trauma dengan kejadian
di Surabaya tsb).
Nah, lanjut yang tadi, setelah lampu
dinyalakan suasana jadi terang benderang. Belajar dari pengalaman di
Medan kami melihat keadaan akan lebih bisa dikendalikan jika seluruh
lampu dinyalakan sehingga oknum-oknum yang melempar bisa terdeteksi dan
jika terjadi situasi kritis kita tinggal ambil aja itu oknum pelaku
kekerasan. Memang sih saat SID kembali melanjutkan pertunjukan
lemparan-lemparan masih tetap ada namun masih bisa ditanggulangi (he
he... lucu juga sih liat Bobby dan Eka sambil nyanyi sambil berkelit
sana-sini menghindari batu yang liar beterbangan).
Q : Apa bisa dibilang para perusuh itu mewakili suara Punk Rock Medan dan Jogja?
A
: Nggak ngerti deh. Yang jelas seperti kita bilang tadi mereka adalah
tipikal Unilateralist/Fasis/Nazi/salafi Radikal, telah merasa mewakili
kelompoknya lalu seolah diberkahi "license to kill" oleh Tuhan Punk Rock
dalam membinasakan orang yang berbeda konsep dengan mereka. Saat di
Medan, setelah pertunjukan datang ke penginapan kita sosok macam Roy
Romero dari Brontakzine, Army Clown, Cranium dan Underdog. Mereka bilang
peristiwa tadi tak mewakili suara Punk Rock Medan. Begitu juga saat di
Jogja, setelah pertunjukan datang Burhan ke belakang panggung (konon,
Burhan ini adalah salah satu dedengkot Punk Rock Jogja). Burhan
menyesalkan peristiwa tersebut dan tegas-tegas bilang bahwa para pelaku
bukan dari Punk Rock scene Jogja.
Di penginapan juga
kemudian datang Endank Soekamti, Shaggy Dog, dll. entah siapa, yang
senada dengan Burhan hendak mengklarifikasi bahwa peristiwa di UPN tsb
bukan mewakili scene Jogja. Sebenernya buat kita masalah suka gak suka
itu adalah hak masing-masing. Namun dalam menerapkannya harus disertai
kedewasaan. Sekalian belajar berdemokrasi. Jika orang lain suka
sementara kita gak suka jangan lalu menganiaya kemerdekaan pihak yang
bersuara beda dengan kita. Contoh sosok demokratis adalah Jimmy "Punk",
yang di Jakarta disebut sebagai salah satu "Mbah"-nya Punk di Jakarta.
Tanpa harus punya persepsi sama tentang Punk, kita enak aja bergaul satu
sama lain. Ya saat SID di Jakarta, ya saat Jimmy di Bali, SID dan Jimmy
adalah sahabat dekat. Soal musik? Nanti dulu. Kita satu sama lain gak
sepakat, beda pendapat. Tapi secara personal kita adalah sahabat. Hey
you Unilateralists, begini ini demokrasi paling sejati.
Q : SID dibilang banci karena gak berani melanjutkan pertunjukan di Medan. Tanggapan Anda?
A
: Dibilang banci, pengecut, dll, ya terserah deh. Coba aja kita tuker
posisi, mereka yang berada di atas panggung, dan kita jadi pihak yang
melempari mereka. Kalo mereka bisa lewat sampe 6 lagu, acung jempol
tinggi-tinggi deh. Saat di Jogja itu, saat kita mundur ke belakang
panggung nyusun strategi, para perusuh juga meneriaki SID banci, he
he... yang banci sebenernya siapa? Beraninya cuman rame-rame trus pake
bawa-bawa batu lagi.
Tuker posisi yuk, kalo gitu. Mereka
di atas panggung (tetep rame-rame), SID di bawah panggung ( tetep
bertiga aja) sambil bawa batu, botol bir, aqua isi air kencing, dsb.
Selama non-stop 30 menit SID ngelemparin mereka. Gimana, seberapa
"pahlawan" sih mereka pada?
Q : Berkaca dari kejadian sejenis begini kira-kira apa ada hubungannya dengan masuknya SID ke major label?
A
: Entahlah. Lagipula, apa yang salah dengan major label? Rancid aja
masuk major. Bayangin jika Sex Pistols, Ramones dan The Clash gak masuk
major, wah, mungkin Indonesia baru tau yang namanya Punk Rock tahun
2000-an ini. Justru gara-gara mereka masuk major (yang notabene
pendistribusiannya lebih menggurita ke penjuru dunia) Punk Rock akhirnya
bisa dikenal di Indonesia. Dan faktor ke-2 SID bergabung dengan major
adalah menjadi sosok realistis. SID pengen sepenuhnya hidup dari
bermusik. Di Indonesia, jika ingin sepenuhnya hidup dari musik pilihan
paling realistis menurut SID adalah bergabung dengan major. Apalagi SID
bukan band tajir. Jika berkiprah terus di jalur Indie karir bermusik
kita gak bakalan kemana-mana.
Bakal mentok di situ-situ
aja. Itu yang SID alami sendiri bertahun-tahun. Lain persoalannya jika
kita masih minta duit ama ortu, main musik cuma untuk euforia sesaat, ya
bisa aja kita berkoar-koar tentang seberapa luhur suci etos D.I.Y.
(bukan "Do It Yourself" tapi "Do It Your-parents" he he...). Dan dari
apa yang sudah SID lihat selama ini, biasanya oknum-oknum yang ngaku
paling underground tsb saat beranjak dewasa (baca: harus cari kerja),
ortu mereka udah ogah mensubsidi mereka, udah deh, "karir" Punk Rock
mereka habis juga di saat yang sama. Hanya sedikit yang mampu bertahan
sesuai dengan apa yang digembar-gemborkannya sejak mula. Dan itu pun oh
sangat-sangat sedikit yang benar-benar hidupnya bersumber dari musik
tok. Mutlak diketahui, SID sudah sepenuhnya lepas dari subsidi ortu,
sudah sepenuhnya ingin hidup dari musik, ya kita lalu memilih bergabung
dengan major. Bedanya, kita tidak menyodorkan demo ke label manapun
(major, minor, indie, major indie, whatever). Jika orang lain
melakukannya (ngasih-ngasih demo ke label) silakan aja, itu pilihan
berkesenian mereka dan ini negara bebas. Tapi SID tidak. Sebab SID
pengen sejak awal posisi satu sama lain, antara SID dan major adalah
sejajar.
Bukan bak hierarki atasan dengan bawahan. Yang
biasanya terjadi, setelah sebuah band nyodorin demo ke label segera saja
hierarki atasan dengan bawahan instan terjadi. Label saat itu juga
cenderung merasa punya otoritas luar biasa dalam menentukan arah hidup
si band. Ini musti dikurangi, itu musti ditambahi, ini cocoknya dengan
itu. Segala bentuk peraturan muncul kemudian dari pihak label. Dari si
band sendiri terang aja gak bisa bersikap lain kecuali manut. Bagaimana
tidak, sejak awal kondisinya emang bak atasan dengan bawahan. Si band
yang perlu pada label. Hierarkinya tak sejajar. Lain soal jika dari awal
posisi satu sama lain berimbang. Tak ada yang lebih berkuasa di sini.
Segala keputusan harus melalui kesepakatan bersama.
Nah,
banyak yang buruk sangka dengan pilihan SID bergabung dengan major. SID
langsung divonis bersekutu dengan iblis. SID spontan mendapat sebutan
"pengkhianat". Padahal jika paham pra-kondisi, pra-sejarah SID bergabung
dengan major (saksi hidup dari "luar" komunitas SID dan melihat
perjalanan lengkap SID, paling kompeten ada 2 orang yaitu Felix "Pause"
mag dan Wendi "Razzle" enterprise who have been there since day one,
jika kita boleh nyebut nama) bisa jadi reaksi yang muncul akan berbeda.
Tidak instan memvonis dengan sebutan ultra negatif. Malah yang akan
muncul justru sebuah penghargaan pada perjuangan SID sebab masih sanggup
menggabungkan sikap realistis sekaligus tetap teguh mengibarkan
idealisme di saat yang sama. Sekali lagi, jika memang serius bermusik
dan memang pengen hidup dari musik tentu saja main musik selalu dibayar
pake tengkyu, dibayar Vodka, sekadar uang transport, wah, dijamin 100%
pasti gak bakalan cukup untuk menopang hidup!
Eh,
ngomong-ngomong, di Punk Rock itu berlaku standar ganda ya? Kok Sex
Pistols, The Clash, dan Ramones, selalu mendapat maaf dan terus dicintai
oleh Punk Rock scene atas keputusan mereka gabung dengan major.
Sementara band lain yang gabung dengan major pasti langsung dicap "sell
out", pengkhianat, axis of evil, dsb. How come?
Q : Apa
tak punya kecurigaan bahwa major hanya memanfaatkan Punk Rock yang lagi
booming di seluruh dunia lalu menjadikan SID sebagai "proyek
percontohan" di Indonesia? Um, masih ingat "trend Ska"?
A :
Ah, kita gak pernah ribet berpikir sejauh itu. Satu sama lain punya
kepentingan berbeda. SID punya kepentingan meneruskan karir bermusik.
SID hanya ingin terus berkesenian. Urusan distribusi, promo, rekaman,
biar label yang ngurusin. SID cuma pengen fokus berkarya, mencipta lagu,
manggung mengekspresikan diri. Jika label misalnya punya agenda
tertentu ya biar aja. Selama wilayah berkesenian kita gak diintervensi
ya kita mah damai-tentram-kerta-raharja aja. Jangan pernah lupa, ini
tahun ke-8 SID bermusik Punk Rock. Bagi SID Punk Rock itu selalu ada,
tak terpengaruh trend. Persis seperti fenomena Doc Martens atau Levi's
501. Ketika sedang mencapai puncaknya Doc dan 501 dipakai oleh hampir
seluruh remaja dunia, termasuk SID sendiri. Oleh media massa fenomena
Doc & 501 dikategorikan sebagai trend. Ketika peminat Doc dan 501
surut di kalangan remaja, SID masih terus memakainya. SID tidak
mengikuti kecenderungan yang terjadi pada remaja lainnya. SID tidak
membebek pada "what's in" dan "what's out" yang ditulis media massa.
Analoginya kira-kira macem begitu deh. Hey, look, we're not gonna give
up the thing (read: Punk Rock) that we've been doing for the last 8
years just because the media tagged it as the year 2000 "it" thing!
Q
: Bergabungnya SID dengan major menyebabkan SID memperoleh ekspos yang
melebar ke penjuru Nusantara. Di lain pihak menurut Punk Rock purists
ekspos berlebih adalah haram hukumnya bagi band Punk Rock.
A
: SID sendiri sudah melakukan self-censorship dalam menekan ekspos agar
tak berlebih.SID pribadi memang kurang menyukai gempita
selebriti-selebritian. Jarang banget liat SID di tivi, kan? Emang
sengaja kok (kecuali jika konsepnya cocok dengan perspektif berkesenian
SID baru deh SID menyanggupi tampil). Biar kata jutaan tawaran nongol
untuk tampil, SID bersikeras meminimalisir ekspos berlebih. Begitu juga
dengan media cetak. Kita selektif hanya menyanggupi kerjasama dengan
majalah tertentu. Begitu pula jadwal manggung.
Kita
bener-bener meminimalkan tampil terlalu sering di suatu kota dan lebih
mengutamakan tampil di daerah yang belum pernah dikunjungi. Semua itu
maksudnya agar SID tak over-exposed. Tapi apa mau dikata, popularitas
tetap tak bisa ditahan. Ketika sudah saatnya membludak ya membludak aja.
Iya, terjadinya begitu saja. Natural aja. Apa pun bentuk
self-censorship yang kita lakukan. Sepertinya berjuta antisipasi yang
kita terapkan tak sanggup membendung minat publik pada SID. Ya akhirnya
gini deh, SID terkesan mengeksploitasi Punk Rock. Padahal sebenernya
semuanya berjalan alami saja.
Q : Musik SID sekarang penggemarnya kebanyakan ABG dan anak SMA. Payah.
A
: Oh ya? Berarti selera anak SMA adalah cemen, jeblok secara kualitas
seni, gitu? Kalo emang iya begitu, kok banyak band berebutan agar bisa
tampil di acara PL Fair? Bukankah PL Fair itu acara pensi SMA? Dulu,
asal tau aja, salah seorang SID pertama kali dikasih hadiah cd MXPX di
taun 1995 oleh cewek Amrik berumur 12 taun! Padahal di Nusantara ini
MXPX oleh sebagian khalayak dipandang sebagai sosok sakti mandraguna.
Sementara
di Amrik MXPX adalah konsumsi ABG. Apakah itu berarti MXPX adalah band
buruk? Pula, ketika sebuah band berhasil menjual album sebanyak 1 juta
kopi dan di saat yang sama ada 4 kritikus musik menganggap bahwa album
band tsb jelek. Apakah mutlak berarti 999,996 orang yang membeli album
tsb adalah orang goblok semua dan justru 4 kritikus itulah yang paling
paham musik? Is that so?
Q : Apa pendapat SID tentang Kapitalisme?
A
: SID gak mikirin soal tetek bengek Kapitalisme. SID minum bir,
mengekspresikan diri lewat musik, dan bergembira. Nggak peduli dengan
Kapitalisme Cap Go Meh.
Q : Lalu apa tanggapan SID ketika
sebuah band Jakarta saat diwawancara di sebuah radio nuduh SID sebagai
Agen Kapitalisme Internasional?
A : He he... mungkin band
tsb lupa bahwa 99,9 % radio-radio yang ada di Indonesia adalah bagian
integral dari Kapitalisme itu sendiri. Bagaimana tidak, kelangsungan
hidup hampir seluruh radio di Indonesia itu bergantung pada iklan Lux,
Pepsodent, Rinso, dll keluaran korporat toiletries bernama Unilever,
juga korporat macam Djarum, Bentoel, dll, yang jelas-jelas
perusahaan-perusahaan tsb adalah ikon masif Kapitalisme. Mendiskreditkan
Kapitalisme di corong Kapitalisme? (Lupa kali ya itu Jaksa Agung Muda
Urusan Pidana Kapitalisme sedang berada di Kota Madya Kapitalisme?), apa
itu band memang figur pemberontak Kapitalisme nomor wahid atau malah
sekadar pendekar mabok gak paham esensi Kapitalisme dan berpikiran jika
sebuah band kencang meneriakkan anti Kapitalisme artinya band tsb adalah
band ultra cool?
Pernah juga terjadi--contoh ironis yang
lain nih, saat beberapa personel SID main ke Hard Rock Cafe Jakarta
bersama sahabat asal Swedia, Erik (seorang aktivis Punk Rock yang
notabene militan anti major label sekaligus kenal amat dekat dengan
komunitas label Punk Rock Swedia, Burning Heart, dus kawan sepermainan
dengan band macam Satanic Surfer). Malam itu Erik mengenakan kaos SID.
Eh, tiba-tiba dia dideketin ama seseorang yang tampaknya gerah melihat
Erik memakai kaos SID lalu segera saja menceramahi Erik dengan
petuah-petuah yang intinya mengatakan bahwa SID itu bukan refleksi dari
Punk Rock. Punk Rock yang benar itu seperti ini seperti itu. Erik yang
notabene “1000% sadar Punk Rock" jadi geli sendiri. Bukan karna petuah
Punk Rock yang dia amat paham.
Tapi berceloteh tentang
seberapa luhur suci Punk Rock di tempat macam Hard Rock Cafe (baca: ikon
besar Kapitalisme)? Oh, come on, man...! Kita datang ke Hard Rock Cafe
cuma untuk bersenang-senang, melepaskan diri dari kepenatan
metropolitan, nggak peduli lagi soal Punk Rock Cap Go Meh. We come here
to have fun. We don't care about Punk Rock, Capitalism, or else.
Drinking beers and having a good time fun. Period. Miris, kan, ngeliat
sang oknum "penegak ajaran Punk Rock" bersabda tentang Punk Rock di Hard
Rock Cafe? Lupa kali ya itu Nabi Punk Rock sedang berada di
Kapitalismepolitan?
Tentang oknum yang "tergerak hatinya"
saat melihat orang lain menggunakan kaos SID, terjadi di sebuah
universitas di bilangan Jakarta mana gitu. Begitu melihat ada yang pake
kaos SID, wih, langsung saja mereka, kalangan cerdik cendikia Punk Rock
itu, memaksa agar kaos tsb dilepaskan lalu ramai-ramai membakar itu kaos
SID. Kasian banget itu yang make kaos SID yang tak mengerti apa-apa
diperlakukan sedemikian sewenang-wenang. Mahasiswa, tulang punggung
bangsa, kok bisa ya berbuat sedemikian opresif? Demokrasi sudah mati di
tempat mana demokrasi terus bising didengungkan?
Balik ke
inti persoalan, SID gak ambil pusing dengan cap Kapitalis atau
sejenisnya. We drink beers, crank up Rock 'N Roll and have big time fun!
Q : Sensitif nih, SID pernah berkata "Fuck Javanese"?
A
: Ini adalah sebuah fitnah paling keji yang pernah SID terima. Terakhir
malah kami baca di "Info Musik Gratis" ada seseorang yang dengan seenak
jidatnya menuduh bahwa SID anti orang Jawa tanpa punya bukti sahih
(kata oknum tsb setiap kali SID di panggung bakal selalu ngomong: "Fuck
Javanese!". Whoa! Emang dia pernah nonton SID manggung?). Padahal kan
perbuatan macam begitu termasuk delik pencemaran nama baik dan bisa
dilaporkan ke polisi agar diproses secara hukum. Saat di Surabaya juga
banyak yang terprovokasi dengan isu murahan "Fuck Javanese" ini
sampai-sampai SID dilempari ketika manggung di acara Volcom Skate
Jam-O-Rama. (Paling inget gimana raut muka Zhewex, vokalis Karpet, duh
pekat berlumur benci dan doi adalah salah satu orang yang paling aktif
memprovokasi massa).
Dendam sih kita kagak. Cuma heran
aja, kenapa orang bisa semudah itu termakan isu yang gak jelas
juntrungannya. Apalagi ketika kemudian kami tau bahwa hal yang membuat
massa kalap adalah konon kami benci orang Jawa. Anjist. Apa pula ini?
Look, sederhana saja, jika SID emang anti-Jawa kenapa musti sengaja main
di Surabaya? Bukankah itu bunuh diri namanya?! Atau mau bukti lain?
(Paling males sebenernya meng-counter gossip murahan kayak begini, tapi
karena sudah sebegitu banyak yang termakan isu ini ya udah kerjain aja.
Ugh!) Setiap kali SID main di luar Bali (Jakarta, misalnya) maka SID
akan memakai crew yang diambil di Pulau Jawa (Jakarta). SID gak bawa
crew dari Bali. Crew yang ada di Jawa tsb terdiri dari berbagai suku
yang ada di Indonesia. Dan buat SID, kami sepaham dengan Goenawan
Mohammad; kami menyebut diri "Universalis"; tak dibatasi sekat suku, ras
maupun agama. mo dari Jawa kek, Sumatra kek, Badui kek, planet Mars
kek, silsilah demografis itu bukan halangan dalam berinteraksi. Asal
tau, crew SID yang ada di Pulau Jawa asal mulanya adalah sohib-sohib SID
yang lalu direkrut jadi crew. Mau bukti tambahan? Coba sekali-sekali
main ke Poppies, tempat SID ngumpul.
Pernah denger istilah
"melting pot", kan? (bagi yang belum tau, melting pot = muara interaksi
multilateral; wadah asimilasi berbagai varian ras, suku, agama) Nah,
Twice/Suicide Glam di Poppies Lane 2 tempat kita hang out tsb ya memang
merupakan muara tempat bergaulnya bukan cuma antara
Jawa+Bali+Sumatra+Sulawesi+daerah Indonesia lain, malah dengan skala
lebih lebar yaitu mencakup berbagai suku bangsa. Jika SID memang punya
sifat Xenophobic (anti orang asing), nggak mungkin dong tempat hang out
kita bisa sampe sebegitu "Bhineka Tunggal Ika". Atau kalo mo saksi
hidup, coba hubungi majalah Hai, Kawanku, Poster, MTV Trax, mantan
anggota Puppen, vokalis Fable, manajer Superglad, Rebek, atau siapa saja
yang memang benar-benar pernah ke Twice/Suicide Glam.
Tanyain
mereka satu hal, "Apa bener SID anti Jawa?". Mereka pasti jawab, "Ke
laut aja lu!" Next question, please? We got fed up replying this stupid
gossip!
Q : Oleh beberapa orang SID dianggap tak layak
mendapat award. Mereka bilang derajat musikalitas SID jauh dari
istimewa. SID juga tak mengerti sound??
A : Apa kita
berbicara prog-rock di sini? Hey, kita tak bicara presisi di sini. SID
adalah band Punk Rock. Punk Rock itu musik tiga jurus (baca: sederhana).
Selebihnya "attitude-heavy" alias kolosal mengedepankan attitude. Gak
semata tentang musik an sich. Dan SID sejatinya gak banyak berubah. Baik
dari elemen musikal maupun prilaku. Sejak jaman indie hingga kini.
Ketika Bobby menyanyi kadang masih suka kepleset alias fals.
Jerinx--terutama kalo kebanyakan minum bir--sesekali suka lengah menjaga
tempo. Eka giliran asyik jejingkrakan suka lupa menjalankan tugasnya
sebagai vokal latar.
Buat kami hal macam begitu bukan aib.
Tapi itu adalah SID yang asli. Kami tentu saja berusaha tampil
maksimal. Tapi gak terlalu ngoyo agar show jadi amat sempurna. Kami
biarkan aspek manusiawi tetap mengambil peran di situ. That's what Punk
Rock is about. Look how Sex Pistols were. They didn't even know how to
play. We are not Sex Pistols. But we truly agree with the whole concept
of Punk Rock that they once invented. Furthermore, saat mempromosikan
pertunjukan pun yang SID muntahkan ke publik justru propaganda yang tak
mengungkapkan seberapa hebat SID, justru sebaliknya. Contoh:
Um, we ain't talkin' about sophisticated, exotically structured, top-notch music here.
Hell no.
We're talkin' more about:
Unschooled, slick-as-hell Punk pagans
Young urban noise purists with untrained ears, untrained skills
Avid beer-drinkin' socio-cultural
Maximum Rock 'N Roll energy
Adrenalin OD gig
and
F**k-you attitude"
***Diambil dari promo acara "Black Heart: Tales From Goth-Punk Suburbia", 13 Februari 2003.
***Propaganda ini dibuat oleh SID sendiri.
Nah,
bagaimana, apa ada SID nyebut diri sakti mandraguna? Iya, coba
perhatikan saja kalimat "we ain't talkin' about sophisticated,
exotically structured, top-notch music here" dan kata-kata "untrained
skills" "f**k you attitude" di situ. Salah besar jika Anda berharap dari
SID akan mendapatkan pertunjukan "sempurna" layaknya band-band ternama
Indonesia.
Begitu juga tentang sound, SID selalu jujur
bilang ke soundman kita (Albert, Yoni, atau Dera) juga ke orang lain
(paling gampang tanyain Wendi atau Felix deh) bahwa kita nggak ngerti
sound dan kita masih belajar (perhatikan propaganda "Black Heart"
utamanya kata-kata "untrained ears" dan "f**k you attitude"). Makanya
jika orang lain lantang berteriak bahwa SID nggak ngerti sound pasti
kita bakal terus terang bilang, "Iya nih, kita memang masih belajar ttg
sound". Cuman, berkaca dari pengalaman, yang seru adalah saat kita main
di acara Puma Street Games di Senayan, September 2002--waktu itu masih
indie. Oh Sid Vicious Yang Maha Esa, penonton kelojotan moshing
seanjing-anjingnya saat SID beraksi di panggung! Padahal, man, jangan
tanya seberapa buruk mutu suara yang muncrat dari sound system. Jangan
tanya seberapa kacau balau tempo permainan SID waktu itu. Tapi coba liat
reaksi penonton, total beautiful chaos! They didn' give a flying f**k
about sound system Cap Go Meh. And it really made The Almighty Sid
Vicious cracking up his big Punkrock-ish smile. Nah, kawan, fenomena apa
ini?
Antiklimaksnya, kenapa saat SID sign up sama major
(5 bulan setelah Purna Street Games) tiba-tiba ekspektasi publik kepada
SID langsung melonjak hebat lalu berharap mendapatkan sesuatu yang
"sempurna"? Lucu, bukan? Coba, apa bisa kita ngerti sound cuma dalam
rentang 5 bulan? Apa bisa bermusik "sempurna" dalam hitungan 5 bulan?
Mustahil dong. Tapi tenang aja, kawan, SID tentu akan terus belajar
memahami sound dan bergiat belajar bermusik. Makin ke depan semoga makin
jago main musik. Selebihnya yang musti diingat di sini adalah
pengetahuan ttg sound atau kemampuan menguasai instrumen yang mumpuni
bukanlah satu-satunya faktor utk mampu "mencuri" perhatian publik. Ada
banyak faktor yang saling berkaitan. Jadi yang penting diketahui: SID ya
emang kayak begini ini. Dalam konteks musikal, sudah sedikit lebih baik
dibanding saat manggung di Puma Street Games, September 2002. Jika
punya ekspektasi yang lebih dari bagaimana SID sekarang ini, jika ingin
melihat band yang secara musikal tanpa cacat, kami sarankan Anda mulai
memutar Dream Theater saja di stereo Anda. Jika masih belum puas,
hubungi segera Sony Music Indonesia serta ofensif protes ke mereka: "Kok
sign up SID sih? SID itu band jelek!" setelah itu tawarkan band Anda ke
mereka. Mari sama-sama tunggu reaksi Sony seperti apa. Adil, bukan?
Sekarang
tentang award yang diberikan kepada SID. Perlu dipahami, SID nggak
pernah yang namanya mendaftarkan diri agar dicalonkan dalam award-award
tsb. SID juga nggak pernah menghasut penggemar SID agar kirim SMS ke MTV
Award atau juri AMI Award biar SID menang. Tau-tau aja SID menang di
ke-2 award tsb tanpa SID sumbang andil sama sekali. Barangkali penggemar
SID yang pro-aktif voting untuk SID (dan untuk itu SID besar terima
kasih pada fans atas segala susah payahnya). Dari SID sendiri award itu
tak membuktikan apa-apa. Sebab mendapatkan award bukanlah tujuan
bermusik SID. Maka itu, yup, SID gak pernah dateng ke award-award tsb.
Jika orang lain menganggap award itu penting, silakan, ini negara bebas,
do whatever you feel like. SID nggak terlalu ambil peduli dengan award
Cap Go Meh.
Q : SID band OKB (Orang Kaya Baru)?
A :
Ha ha... pernah main ke Bali dan ngeliat langsung keseharian personel
SID? Bobby itu rumahnya di gang dan gak punya motor. Eka itu tinggal di
kos-kosan bareng istri dan bayinya. Jerinx sendiri tak bisa
dikategorikan borju. Doi cuma kelas menengah. Eh, kalopun ke depannya
nanti SID jadi band kaya apa gak boleh? Band Punk Rock dilarang hidup
sejahtera? Buat SID mencapai tingkat hidup yang lebih memadai bukan hal
haram asal saja tak melenceng dari garis idealisme yang dianut selama
ini.
Sejujurnya, SID bosen miskin he he... Next question, please!
Q : Pendapat SID tentang kaos yang banyak dijual di lapak-lapak seperti "Fuck SID", "Superman Is Dead Is Dead"?
A
: Biasa aja. Siapa pun berhak mengekspresikan apa yang ada di hatinya.
Bahkan si Eka (bassist SID) ikutan beli baju "Fuck SID" dan dipakainya
manggung di Senayan seraya tak lupa bilang, "You say fuck you, we say
thank you!" (di kesempatan manggung berikutnya, juga di Senayan,
penggemar SID malah ikutan make kaos yang kayak dipake Eka! He he...).
Hanya
yang agak mengganggu dan tak adil di sini, ekspresi ketidaksukaan ini
kok justru dibisniskan. Selain kepentingannya sudah bisa, bukankah itu
sama dengan "menari di atas penderitaan orang lain"?
Q : Kok Punk Rock glamour?
A
: Huh? Look, acuan kita dalam berbusana adalah band macam AFI juga
Stray Cats, Living End, Supersuckers, Reverend Horton Heat, Rocket From
The Crypt, dan band-band Rockabilly lainnya. Acuan SID lebih ke Punk
Rock Amerika yang lebih kental nuansa Rock 'N Rollnya Pula cenderung
non-politikal. Lebih mengedepankan fun. Iya, apa Punk Rock harus jarang
mandi? Apa Punk Rock harus stereotype seperti Punk Rocker yang banyak
bertebaran di King's Road, London? Kenapa tiba-tiba ada kata "harus" di
wilayah Punk Rock yang notabene esensi hakiki Punk Rock adalah menjadi
manusia bebas merdeka? Heran, Punk Rock kok banyak peraturan ya...?
Q Tarif SID mahal!
A
: Tarif SID sekarang 10 juta. Dan itu hanya berlaku untuk acara
komersial, dengan sponsor besar. Jika konser yang dibikin oleh mahasiswa
atau bersifat DIY, SID rela dibayar seadanya bahkan gak dibayar (lucu
ya, di Indonesia ini jika band main gak dibayar berarti band tsb cool,
anti kapitalis, merakyat, dsb. Padahal kalo bener-bener mo hidup dari
musik mana bisa sih terus-terusan bertahan hidup dengan tengkyu?).
Waktu
SID main utk acara anak Mpu Tantular, Moestopo, Unpar, dsb, SID hanya
dibayar sekedarnya aja. Malah saat main di Buqiet Cafe - Bandung SID gak
dibayar sama sekali. Dikasih bir dingin doang. Nah, apakah itu sebuah
prestasi? SID = band ultra cool karna rela gak dibayar?
Q Tiket pertunjukan SID mahal!
A
: Ah, kita juga bingung orang-orang itu maunya apa. Saat main di Jogja
dengan tiket Rp 20 ribu dibilang kemahalan. Dikasih Rp 7,500 bikin
rusuh. Digratisin, rusuh juga. Bilangnya tiket Rp 10 ribu kemahalan tapi
beli Vodka 2 botol kok mampu? Phew.
Q : SID band sombong?
A
: Punya pertanyaan lain yang lebih berbobot? Males banget jika
persoalannya melulu interpretasi. Pak Raden misalnya, secara visual
pasti kita berpikir bahwa doi orangnya galak dan/atau angkuh. Padahal
belum tentu kan? Udah ah, males ngerespons yang kayak ginian. Lagian
udah panjang lebar diskusi kita. Sudah sampai di sini aja ya!
---Berikut adalah beberapa komentar dari pihak lain---
>>> DENNY SIHOTANG
LIVE SID di Medan SUPERMAN IS DEAD, DEAD, DEAD !!!
Terlepas
dari prestasi SID mendapatkan predikat artis Pendatang Terbaik AMI
Award, aku mau cerita sedikit soal penampilan mereka di Medan, Selasa 7
Oktober 2003 di areal Pendopo Kampus USU Medan.
Malam itu
SID tampil menjadi guest star di depan sekitar 7000 an audience. Kenapa
bisa demikian ramai? Boleh jadi karena even gratisan. Tapi boleh jadi
juga karena nama besar SID itu sendiri. Penonton yang hadir juga
beranekaragam, dari cewe-cewe wangi dan kece, abege-abege, sampai pada
segelintir orang yang memang mengerti musik. Terlepas dari itu semua,
rasa penasaran pengen liat live nya SID aku rasa yang membuat penonton
berjubel.
Dibuka dengan teriakan Horasss Medan, tanpa
basa-basi, SID langsung menggeber dengan sebuah lagu yang aku tak tau
pasti judulnya, tapi pasti berasal dari album bad... bad... bad...
sayangnya, baru hitungan ke 30 soundsystem ngadat karena daya listrik
kurang (kali aja). Buktinya, gak lama kemudian listrik hidup lagi.
Sayangnya, SID langsung maen geber aja, langsung ganti lagu, bukannya
mengulang lagu yang pertama mereka mainkan. Rumor bakalan adanya
serangan terhadap gigs SID ini ternyata bukan hanya isapan jempol.
Memasuki tengah lagu kedua, aneka sumpah serapah mulai nyaring
terdengar. Kata-kata makian yang ditujukan ke si PUNK ROCK STAR semakin
menjadi. Lemparan aneka benda berbahaya (air kencing dalam botol air
mineral, sendal, batu, bambu panjang, sampai pada tai... yang ini belum
diketahui kebenarannya, bisa jadi hanya sekedar lumpur. cuma karena udah
gelap, orang bisa menyangka sebagai kotoran manusia). Malah, ada
beberapa penonton bekerjasama menggendong seorang temannya, dan saat si
teman di atas dia langsung membuka resleting celananya dan (maaf)
menunjukkan kemaluannya sambil berteriak : ini sama kalian!. Ampun
deehh...
Memasuki lagu ketiga, serangan bukannya mereda,
malah semakin menjadi. Bambu panjang yang sebelumnya digunakan sebagai
tiang ikatan umbul-umbul sponsor semakin banyak berterbangan ke stage.
Sampai-sampai personil SID mesti goyang sana-sini untuk menghindar.
Sayangnya, entah karena tertekan (atau memang kualitas cuma segitu...?)
permainan SID makin gak menentu arah. Beberapa kali tempo musik yang
mereka mainkan kejar-kejaran. Plus, soundsystem yang mati-idup beberapa
kali. Penonton makin brutal dan chaos semakin jadi. Tak hanya SID,
panitia yang di depan stage juga kena makian dan ludah penonton.
Usai
lagu keenam (kalau tak salah kira), tanpa basa-basi SID ngabur
kebelakang panggung. Rupanya penonton yang kontra dengan mereka sudah
mengantisipasinya dan langsung menguber sang PUNK ROCK STAR ke belakang
panggung. Aku sempat melihat seorang penonton, berambut gondrong dan
sedikit emosi mengejar kerumunan personil SID dan security panitia. Si
gondrong aku lihat sempat menghadiahkan sebuah bogem mentah (sayangnya
aku gak tau siapa yang mendapat hadiah tak diharapkan itu, entah
personil SID atau panitia). Mobil tumpangan mereka juga dipukul-pukul
dari luar.
Begitu SID menghilang, panitia yang sebelumnya
cukup banyak itu juga menghilang. Stage ditinggalkan dalam keadaan
kosong. Mereka cuma berani memantau dari kejauhan.
Sesudahnya,
kubu yang pro dan kontra SID kemudian membuat koalisi. Kelihatannya
mereka kecewa berat dengan live SID malam itu. Dari kubu pro, boleh jadi
mereka tidak puas menonton pujaan mereka sambil bermoshing ria.
Sedangkan dari kubu yang kontra, boleh jadi mereka belum puas
melampiaskan emosi dan marah mereka. Karena minim pengamanan (tak
satupun keliatan aparat kepolisian ataupun TNI, mungkin karena di dalam
kampus) penonton semakin brutal. Umbul-umbul yang berdiri di sisi kiri
dan kanan jalan dibakari. Beberapa spanduk di depan stage juga dicopoti
dan dibakari.
Untunglah audience tidak terpancing semakin
jauh. Walau samar-samar masih terdengar teriakan-teriakan : ayo kita
kejar mereka ke Sumatera Village, sebuah resort sekitar 15 km dari
lokasi pentas, tempat SID menginap. Aku sendiri gak tau pasti, apakah
mereka memang benar-benar mengejar sampai kesana malam itu.
Seiring
waktu berjalan, audience sepertinya baru tersadar kalau pesta sudah
usai. Satu persatu mulai beringsut pulang. Api yang sempat berkobar
pelan-pelan juga mulai padam. Sekitar 2 jam kemudian, patroli polisi
memasuki lokasi kampus, mengawal kru panitia mengemasi stage dan
soundsystem. Bagaimana dengan SID? Apa yang ada dalam pikiran mereka?
Apa opini mereka soal audiece Medan? Soalnya lemparan kali ini berbeda
dengan "lemparan khas" penonton Medan yang berarti salut, atau angkat
tangan kepada permainan sebuah band. Lemparan mereka kepada SID malam
itu memang benar-benar menunjukkan kalau mereka tidak suka, benci, dan
dendam. Entah karena apa. Aku gak tau pasti. Yang pasti, pro dan kontra
itu dimana-mana selalu ada. Tapi apakah PUNK itu mesti brutal, chaos,
dan DEAD???
Malam ini (Rabu, 8 Oktober 2003) mereka akan
manggung di Jogja bareng Endank Soekamti dan beberapa band lain.
Bagaimana dengan audience Jogja? Mohon kabar dong...? Bad... Bad...
Bad... Sad... Sad...Sad...
>>> ALIENUX
sound
system ngadat memang benar dan itu disebabkan kurangnya daya listrik
serangan 2 terhadap SID yang memang udah di persiapkan oleh orang orang
yang kontra terhadap SID (menyebarkankan pamflet saingan untuk memboikot
gigs tersebut Para personil SID mengetahui hal itu tapi tidak
meruntuhkan semangat mereka untuk tetap bermain di medan pada saat itu
dan akan datang). Penonton yang melakukan kekekrasan hanya berkisar
20-30 orang punkers yang tidak mengerti punk yang berada di sisi
panggung sebelah kiri namun mereka terus memprovokasi cara kekarasan
bahkan dari beberapa panitia dan crew SID ikut terkena lemparan walaupun
tidak menibulkan korban luka,tidak adanya aparat kepolisian di gigs
tersebut di karenakan otonami kampus yang tidak memungkin kan adanya
polisi. SID berhenti karena stage manager dari panitia yang meminta
untuk segera menghentikan aksi panggung mereka karena panitia melihat
bahwa lemparan lemparan dari segelintir orang itu sudah membahayakan
tidak ada yang mengejar SID ke tempat mereka menginap di sumatra village
yang ada hanya band band pendukung gigs tersebut yag datang bertamu dan
nongkrong bareng dengan SID .bagi SID kejadian ini tidak akan membuat
mereka jera untuk main lagi di medan bahkan meraka berkata kami cinta
medan maka kami akan tetap tampil lagi di medan bung !!! konfirmed by
ALIENUX yang berada langsung di atas panggung dan merasakan langsung
lemparan batu penonton . . cheers, beers punkrock in your ears
>>> FELIX
"We
just loved to play and didn't care about anything else. It was very
surreal, being wandering around, being part of this big circus." (Chris
Joannou - Bass Player of Silverchair. Courtesy of Tomorrow Never Knows,
The Silverchair Story, written by: Jeff Apter, Coulomb Communications
2003)
Waktu itu, hari beranjak larut. Sekitar pukul 10
malam. Waktunya untuk pulang ke rumah. Mengakhiri hari. Tapi, ada satu
keinginan tertinggal, pergi ke warnet. Cek email sebentar, browsing
beberapa gambar aneh untuk kepentingan bisnis, dan menghabiskan waktu
seraya menunggu mata kehilangan kekuatannya. Setelah di warnet, mulai
membuka satu demi satu tujuan semula, ada sebuah surat yang masih
sangat-sangat segar masuk ke salah satu mailing list yang saya ikuti.
Tajuk surat itu lumayan menggugah saya untuk membukanya dengan segera.
Saya lupa persisnya seperti apa, tapi isinya tentang salah satu band
lokal yang berhasil mencuri rasa kagum yang terdapat di dalam diri ini,
Superman Is Dead.
Tanpa pikir panjang, saya buka email
itu. Pengirimnya, saya masih ingat, Wendi. Seorang kritikus musik,
seorang metalhead lokal kelas atas (yeah, ini cuma penafsiran dari masa
lalu di dunia maya), dan seorang yang sangat dihargai di scene lokal
Indonesia. Satu demi satu baris terpampang dalam waktu yang tidak
terlampau lama. Setelah lengkap, saya mulai membacanya. Cerita yang
dikirim Wendi merupakan forwarded email dari sebuah milis lain,
kebetulan saya juga menjadi anggotanya. Tapi, entah kenapa saya tidak
membuka milis tersebut malam itu. Cerita yang disuguhkan merupakan
semacam laporan aksi panggung Superman Is Dead di Medan.
Perjalanan
membaca dari satu baris menuju baris berikutnya sangatlah tidak nyaman.
Dikisahkan di sana,Superman Is Dead mendapatkan perlakuan yang sangat
tidak layak dari publik Medan. Mereka memang mendapatkan lemparan khas
orang Medan (konon, orang Medan biasa melempari artis musik yang
dianggap penampilannya bagus. Entahlah, saya belum pernah menyaksikannya
langsung). Tapi kali ini, bukanlah lemparan tanda salut yang mereka
biasa lakukan. Tapi lemparan tanda penghinaan. Lemparan tanda benci.
Lemparan tanda nggak suka.
Dikisahkan satu demi satu
spanduk beterbangan ke arah panggung. Bahkan di dalamnya ditulis juga
mungkin kotoran manusia ikut terbang menuju ke arah mereka. Akhirnya
Superman Is Dead mengakhiri penampilan mereka pada lagu ke enam. Ditulis
di situ, mereka memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan repertoir
karena keadaannya memang sudah sangat tidak memungkinkan untuk
melanjutkan pertunjukkan. Tapi kemarahan penonton tidak reda. Mereka
masih berusaha untuk mengejar Superman Is Dead ke belakang panggung.
Aura kekerasan sudah sangat membumbung tinggi waktu itu. Setelah melalui
keadaan chaos yang sudah semakin tidak terkendali di venue, rombongan
Superman Is Dead berhasil menyelamatkan diri keluar dari venue. Tapi,
masih menurut cerita itu, penonton masih tidak puas. Mereka mulai
meneriakkan agar mereka dikejar terus sampai ke penginapan. Untung, pada
akhirnya hal ini tidak terjadi.
Cerita pertama berakhir
di sini. Saya terperanjat begitu cerita ini sampai di bagian akhir.
Tidak percaya. Kecewa. Nggak bisa terima. Wah, campur aduk rasanya
perasaan saya waktu itu. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengambil
ponsel di tas dan mengirim sebuah pesan singkat ke sebuah nomor ponsel
+62817978XXXX,
begini bunyinya: Dude, just read a fwded email from Wendi in SG
groups.. Did u have a very fucking bad gig in Medan? The Story was so
spooky. You have to see it asap. Cheerio..
Itu adalah
salah satu nomor ponsel Rudolf Dethu, manajer Superman Is Dead. Malam
itu, mereka juga punya sebuah jadwal di Yogyakarta. Ia tidak membalas.
Saya pulang ke rumah. Sekitar pukul 1 dinihari saya mematikan ponsel
saya. Sudah saatnya tidur. Paginya, saya bangun sekitar pukul 10 pagi.
Begitu saya aktifkan kembali ponsel saya, sebuah sms masuk. Waktu
pengirimannya 02:09:35. Sang pengirim: Dethu. Ini balasan sms saya
semalam. Begini bunyinya:
Bkn cuma Medan. Jogja juga
rusuh. Sudah takdir SID he he... Tapi di Jogja klimaksnya bagus krn SID
berdiri tegak menantang! Don't worry, dude.We ain't gonna give up! Saya
kaget. For god sake, they've faced two nights in a row with some bloody
bastard that ruined their gigs. What the fuck??? Saya langsung membalas
sms itu.
Wow. It must be a hard time 2 face 2 nights in a
row with some chaos. Btw, i think u have to pass along this news. Some
clarification, maybe. Be strong, man..
Singkat cerita,
saya mendapat kabar yang sama sekali tidak mengenakan itu di pagi hari
dan jujur, dari lubuk hati yang paling dalam, sebagai seorang penggemar
saya marah. Tidak pernah bisa menerima apa yang dilakukan para perusuh
itu pada salah satu band yang saya gilai. Sekitar pukul 4 sore, ponsel
saya berdering, tertera Dethu yang memanggil. Saya angkat. Kita ngobrol.
Ia menanyakan apa saja yang tertulis di email itu. Dia juga bercerita
tentang pertunjukkan di Yogya. Hal yang hampir sama terjadi kembali.
Dethu mengisahkan bahwa mereka memang dilempari. Bahkan Bobby pun sempat
mendapat bogem mentah dari penonton, walaupun tidak keras. Tapi,
ironisnya pada akhir pertunjukkan seorang tokoh punk lokal yang cukup
disegani -salah seorang teman Jerink juga-, namanya Burhan datang
menghampiri mereka di belakang panggung. Burhan mengklarifikasi bahwa
yang melakukan kekacauan itu bukanlah bagian dari anak punk Yogyakarta.
Burhan mengaku tidak tahu siapa yang melakukan itu. Yang jelas, bukan
komunitas Punk Yogya.
Lantas saya bertanya pada Dethu,
"Elo tau nggak sih apa yang sebenernya salah pada diri kalian?" Dia
menjawab, "Nggak. Nggak jelas kenapa kita diginiin." Saya sudah menduga
alasan itu yang akan keluar dari mulut dia. Sepanjang pembicaraan selama
hampir 5 menit itu, saya cuma bisa berkata: "Anjing!" selama beberapa
kali menyusul rasa panas saya pada cerita Dethu tentang perlakuan
penonton pada Superman Is Dead. Saya hanya bisa menggolontorkan ide
untuk membuat sebuah t-shirt bertuliskan 100% Superman Is Dead.
Sederhana.
Perkenalan langsung saya dengan band ini
dimulai sekitar awal tahun 2002. Sebelumnya yang saya dengar hanya
beberapa rilisan mereka yang tidak pernah saya dapatkan. Waktu itu, saya
mendapat kabar bahwa mereka akan merilis sebuah EP (kemudian akan
menjadi EP fenomenal mereka, Bad Bad Bad) yang merupakan rilisan penuh
mereka yang ketiga. Pertengahan tahun, saya pergi ke Bali. Liburan. Saya
memaksakan diri untuk datang ke Poppies Lane 2, markas mereka.
Tujuannya:membeli kaos Superman Is Dead dan EP Bad Bad Bad. Dan, saya
mendapatkannya. Saya ingat, waktu itu kopi terakhir yang ada di Twice
Tape (toko rekaman milik Jerink) adalah kopi yang saya pegang sampai
hari ini.Waktu itu, semua personil Superman Is Dead kebetulan ada di
tempat itu dan sang kasir menawarkan tanda tangan semua personil di CD
yang saya beli. Saya pikir, "Kenapa tidak?" Akhirnya saya kembali ke
hotel, memutar CD tersebut di CD player saya dan...terkagum-kagum.
Persentuhan kedua terjadi ketika band ini manggung di Jakarta akhir
tahun 2002. Kebetulan saya juga mendapat sebuah tugas dari tempat saya
bekerja untuk menulis tentang mereka. Saya harus menjalin komunikasi
dengan Dethu sebelum datang dan mewawancarai mereka. Wawancara itu
sendiri berjalan mulus. Saya membeli lagi sebuah kaos Superman Is Dead
dengan harga khusus dan memenuhi undangan Dethu untuk datang ke kamar
hotel Bobby yang tidak jauh dari venue pertunjukkan. Kami berjalan kaki.
Berdua. Ia bercerita tentang banyak hal. Terutama tentang kiprah
Superman Is Dead. Hari itu berakhir ketika saya memutuskan untuk pergi
ke sebuah tempat lain. Saya menutupnya dengan sebuah sloki peletokan
(entah apa saja campurannya) dalam botol Red Label.
Setelah
itu, saya hanya berkomunikasi dengan mereka lewat email. Tidak lebih.
Hal yang paling prestisius adalah ketika sebuah email masuk ke inbox
saya. Isinya sebuah konfirmasi bahwa mereka akan bekerja sama dengan
sebuah mayor label lokal berskala internasional untuk 6 album ke depan.
Ada sebuah hal yang jauh lebih membanggakan lagi, mereka mendapatkan
kontrak ini tanpa sebuah penjajahan. Jadi, murni kerja sama. Bukan
terdapat sebuah struktur hirarki majikan dan bawahan. Superman Is Dead
mendapatkan sebuah kontrak yang sangat besar artinya untuk band yang
berangkat dari bawah seperti mereka. Hebatnya pihak label yang mau
mengejar mereka. Superman Is Dead tidak pernah mengirimkan sekopi pun
rekaman atau demo mereka. Si produserlah yang mati-matian meyakinkan
mereka agar mau bekerja sama. Lalu hal yang paling spektakuler pun
terjadi. Mereka berhasil memaksa pihak label untuk menuruti keinginan
mereka yang bersikeras tetap menggunakan lirik-lirik berbahasa asing di
sebagian besar lagunya. Sepanjang pengetahuan saya, hanya Pas Band yang
berhasil melakukan hal itu di album kedua mereka In (No) Sensation.
Setelah itu, satu demi satu hal mencengangkan masuk kedua telinga saya.
Mulai dari artwork album yang sangat bebas dan sepenuhnya dikerjakan
oleh pihak Superman Is Dead hingga ke video klip yang dibuat salah satu
sutradara lokal Bali. Buat saya, itu adalah sebuah prestasi yang sama
sekali susah untuk didapat sebuah band lokal yang baru pertama kali
berbaju label mayor.
Superman Is Dead punya konsep. Mereka
punya sebuah posisi tawar yang sejajar dengan sang label. Jerink suatu
kali pernah berkata bahwa mereka tidak menganggap sebuah masalah jika
harus merilis album dengan tangan sendiri lagi. Tapi, tidak juga menutup
sebuah kerja sama dengan label mayor. Itulah yang tidak banyak
diketahui orang. Mereka memulainya dengan sebuah konsep musik yang
jelas, sebuah positioning yang bagus, dan tentunya attitude yang
bagus.Tapi semuanya seolah berputar terbalik ketika album baru mereka
resmi dirilis ke pasaran. Awalnya beberapa kolega mengkritik kualitas
rekaman yang cenderung terdengar pop dan akan jauh lebih baik jika
mereka mengerjakannya sendiri di kampung halaman dengan studio jelek.
Bukan studio maha mutakhir milik label. Mereka menerimanya. Toh, itu
namanya kritik. Bukan penjelekkan. Bagaimana juga, kritikan paling
bagusmemang datang dari teman. Mereka akan obyektif menilai sebuah
karya. Karena memang semuanya murni, tanpa pretensi macam-macam.
Superman Is Dead menyadari kekurang sempurnaan yang mereka miliki dalam
rekaman Kuta Rock City. Kalau secara materi album, tidak banyak yang
berkomentar. Soalnya, lebih dari setengah lagu di album ini adalah
lagu-lagu lama yang sudah pernah dirilis sebelumnya.
Kelar
dari kecaman keras beberapa kolega yang menyerang kualitas album
mereka, Superman Is Dead mulai menghadapi sebuah tantangan yang besar.
Oleh karena publisitas yang sangat besar (diawali ketika mereka terpilih
menjadi MTV Eksklusif artist bulan Juli), kiprah band ini pun semakin
tersorot oleh media secara luas. Penggemar-penggemar baru pun mulai
bermunculan. Kebetulan mereka memainkan musik Punk yang sedang tersedot
habis oleh tangan tidak kasat mata bernama Tren. Jadilah Superman Is
Dead sebuah ikon punk lokal yang paling menonjol menurut penggemar baru
tersebut. Padahal pada kenyataannya tidak ada satu pun ikon punk yang
menonjol. Tidak ada satupun yang lebih hebat dari yang lainnya.Di sisi
lain, orang-orang dari scene tempat mereka berasal mulai gerah. Beberapa
dari mereka merasa Superman Is Dead telah melacurkan sebuah agama
bernama Punk kepada sebuah label mayor yang kemudian menjadikan mereka
mesin kapitalis. Mesin pengeruk uang. Padahal, mereka sama sekali
kekurangan informasi yang baik, proporsional, tepat, layak, dan benar
tentang kiprah band ini.
Mulailah muncul satu demi satu
anggapan bahwa Superman Is Dead adalah budak kapitalis dengan bergabung
dengan mayor label. Superman Is Dead bukan punk lantaran bersedia
bergabung dan menjadi sebuah bagian dari mayor label dan industri musik
mainstream. Superman Is Dead bukan underground lagi. Superman Is Dead
cuma cari uang. Superman Is Dead menjual punk pada masyarakat
kapitalistik Indonesia. Bla, bla, bla... Hal ini seolah semakin
terakomodir begitu situs mereka www.supermanisdead.net resmi dibuka.
Lama kelamaan message board dan guest book mereka menjadi tempat sampah
bagi sebuah perang yang tidak jelas antara pendukung dan pembenci
mereka. Pada awalnya, manajemen band ini berusaha untuk menanggapi satu
demi satu keluhan yang masuk. Termasuk menjual konsep freedom to speech
dan freedom to act. Dethu dan Ade Putri berusaha melayani semua keluhan
yang masuk ke telinga mereka. Tentunya juga berusaha untuk
mengklarifikasi setiap tuduhan yang masuk ke tubuh Superman Is Dead.
Berusaha meluruskan fakta-fakta yang terdistorsi entah berapa ratus
persen.
Tapi usaha itu sama sekali tidak berhasil.
Ibaratnya,mereka berdua hanya menabur garam di lautan luas. Pihak-pihak
yang merasa punya hak untuk menjadi hakim tanpa status berusaha untuk
menjatuhkan Superman Is Dead. Mereka tidak goyah. Dethu dan Ade Putri
memang telah mengurangi serangan balik mereka terhadap para penyerang.
Tapi tidak dengan usaha ekstra keras mereka untuk tetap menjadi
punkers-punkers sejati. Bagi orang-orang seperti saya yang sudah menjadi
penggemar mereka sejak mereka belum menjadi seperti sekarang ini
tentunya sangat sedih. Ketika ratusan bahkan ribuan orang menuduh mereka
berubah, menjadi tidak underground lagi, dan berbagai tuduhan miring
lainnya, seolah-olah mereka tidak lebih dari penjahat paling kejam.
Kejahatannya: menjual Punk!
Banyak orang tidak mengerti
secara pasti bagaimana kelakuan sebuah konspirasi bernama Superman Is
Dead ini. Sudah terlalu banyak bukti yang bisa dikedepankan untuk
menjawab berbagai macam tuduhan yang mampir ke Superman Is Dead. Tapi
sayang, kesempatan tidak pernah mampir juga untuk mereka menjelaskan
semuanya. Saya sendiri punya berbagai macam memori tentang mereka yang
berhasil menancapakn sebuah state of mind bahwa mereka adalah teman,
idola, dan partner. Coba saja seandainya orang banyak tahu berapa banyak
orang yang masuk dalam guest list mereka setiap manggung. Berapa banyak
uang tambahan yang harus keluar dari kantong mereka hanya sekedar untuk
beli bir tambahan karena jatah bir dalam riders pertunjukkan mereka
sudah habis. Bagaimana mereka menjual kaos dengan harga murah lantaran
tidak enak hati kepada teman. Bagaimana marahnya mereka ketika tahu
panitia Clear Top Ten Award menaruh segerombolan penari bodoh untuk
mendukung penampilan mereka tempo hari (akibatnya mungkin kerasnya muka
Bobby ketika berteriak lagu ini untuk Cheerleader yang ingin jadi Punk
Rock Star sembari menunjukkan telunjuknya ke arah mereka). Masih banyak
lagi bukti yang pantas dikedepankan untuk menjadikan mereka kontra
dengan berbagai tuduhan itu.
Makin jelas, mereka yang
mencela, menghina, berusaha menghancurkan, menjatuhkan karakter Superman
Is Dead sama sekali bukan orang yang mengerti mereka dengan baik dan
benar. Bagi saya, dalam posisi seorang penggemar, karakter mereka tidak
akan pernah berubah. Mereka masih orang-orang lama yang saya kenal
sebelum mereka menjadi jauh terkenal seperti sekarang ini. Mungkin
adalah sebuah hal yang sangat perlu jika suatu saat mereka duduk
bersama-sama di sebuah meja yang sama dengan berbagai macam pihak yang
mengecam tingkah laku mereka yang terstigma dalam sebuah cap negative
produksi omong kosong pinggir jalan. Duduk bersama, ngobrol bagaimana
punk itu seharusnya, bagaimana menjadi pemusik yang baik dan benar,
kemudian menggelar konfrensi pers bersama-sama apa akhirnya pembicaraan
itu. Tapi, akankah semua menjadi selesai dengan begitu saja? Saya pernah
membayangkan, mungkin di dalam alam pikirannya masing-masing, 4 orang
anggota Superman Is Dead (plus Dethu), pasti punya pemikiran sederhana.
Awalnya
mereka memulai ini hanya untuk bersenang-senang. Memainkan lagu-lagu
mereka di depan orang banyak. Dalam pandangan obyektif, yang mereka
lakukan adalah bermain musik, jadi mereka hanya pantas disorot dalam
segi musik. Tidak lebih. Selebihnya, itu adalah masalah lain. Ketika
menengok ke perkataan Chris Joannou di atas, saya yakin ada di antara
mereka yang berpikiran seperti ini sekarang. We just loved to play...
Nggak lebih. Felix. Seorang penggemar, teman, partner bisnis Superman Is
Dead. ekonomi membuat kami mendefinisikan otonomi pada mesin fotokopi
>>> WENDI
jujur,
gue males banget ngomentarin ketololan-ketololan para patriot punk yang
berkelakuan fasis kayak gitu. Sangat mundurr... topik major label,
pengkhiantan g 30 s pki, bla bla bla juga kontraproduktif. bukan sok
naif, tapi sempetlah gue "berproses" kayak gitu sebelomnya. cuma
kayaknya kok hal begituan belom tuntas aja di sebagian punk medan ama
jogja. ini menurut gue, katakan kalo gue salah. di jakarta sendiri,
patriot punk penolak SID juga banyak banget dan gue tau pasti itu.
beberapa godfather punk sini yg punya ribuan massa pengikut loyal juga
sempet diskusi dengan gue masalah SID_SID-an ini. mereka ini udah
puluhan tahun ngepunk di jalanan (1987+) dan sering banget direpresi
aparat hanya karena menjadi seorang punk. waktu itu kita diskusi hot
banget kayak film bokep. argumentasi pun tajam-tajam kayak gelang spike.
tapi semuanya kelar sampe disitu.......mereka gak ambil pusing, asli
gak ambil pusing….SIDmo masuk major label, kek, SID dapet award, kek,
SID manggung ditonton 40.000 orang, kek. bodo amat. mereka absen disitu.
sementara, di saat yang bersamaan dengan kejayaan SID, hidup mereka
tetap keras di jalanan dan tetap beroperasi secara D.I.Y. mereka sadar
dan mereka pun sangat waras kalo band mereka ain't going to be the next
big thing! band mereka tidak akan kemana-mana. dan ini adalah PILIHAN
mereka. malah ada yang udah jadi JALAN HIDUP segala. buat gue inilah
namanya KEDEWASAAN. respek bgt gue ama mereka. tetap setia sampai akhir
dalam keyakinan, tanpa harus repot-repot ngurusin sesuatu yang udah jadi
PILIHAN orang laen adalah sikap elegan. intinya, mind your own fucking
business ajalah! lalu boikot pun bukan berarti datang ke konser sid
untuk berkelakuan kayak preman. boikot 'yang baik dan benar' adalah
dengan tidak datang ke konser SID! karena kalo datang, apalagi sampai
berada di barisan terdepan adalah FANS namanya. lho, lalu apa arti itu
semua? ternyata pemukulan, pelemparan, flying sources, eksibisi genital,
kata-kata kotor adalah sebuah aksi dan bentuk apresiasi yang tergolong
avant-garde belakangan ini. niscaya bakal menjadi trend sepuluh tahun
lagi. kasus ini sama halnya ketika dunia tercengang-cengang melihat
kebrutalan penonton di mosh pit sekitar dua puluh tahun yang lalu. nah,
sekarang jadi hal yang lumrah, kan? bahkan pak warno, seorang polisi
bogor pun bisa berkomentar "ah, itu mah tradisi mereka" waktu asyik
santei ngejagain sebuah konser metal di sana tempo hari. ini bakal laen
kalo konteksnya konser dangdut yang sangat tipikal itu....."pusing
saya," katanya. mungkin demikianlah fenomenanya, sodara-sodara. gue
sendiri tahu SID sejak tahun 96, sekitar setahun setelah mereka
terbentuk. waktu itu gue nonton konser mereka langsung di bali dalam
acara total uyut. moel, seorang scenester metal kugiran di sana dengan
bangganya menceritakan band ini scr berapi-api ke gue. Waktu itu masih
meng-cover lagu orang (who didn't?) dengan dress-up yang...duh! even
jerinx sendiri sempet tersipu-sipu waktu gue ceritain hal ini tempo
hari. gue gak banyak komentar waktu itu ttg SID ini. dalam hati gue, lu
bisa temuin puluhan atawa mungkin ratusan band yang kayak gini di
jakarta dan bandung. ya, dalam situasi kayak gitu under-estimate kadang2
perlu... sementara kita di jawa sibuk dengan scene masing-masing. SID
juga makin keras latian dan sibuk manggung sana-sini di seputaran bali.
menurut dethu, malah sempet ditonton tiga orang doang. itu udah termasuk
dia dan temen ceweknya yang jadi penggembira. jiing, berarti penonton
aslinya cuma satu orang doang! singkat kata, singkat cerita. gosip
tentang sid makin mengganas di ibukota. mulai dari yang drummernya bule,
konser di aussie, sampe manggung bareng nofx dan social distortion di
bali, semuanya mampir di kuping gue. sial, sempet shock juga pas tau
gosip ini ternyata makin menggila dan berubah menjadi mitos. u know
myths.....even seorang malin kundang aja bisa jadi batu. wiii,
mengerikan! Tapi begitulah adanya. band ini awalnya (buat anak-anak di
jakarta atau mungkin bagian lain pulau jawa) memang diBESARkan oleh
mitos! Makanya jangan heran kalo ada gosip mereka rasis apalagi pernah
sesumbar FUCK JAVANESE, itu cuma MITOS! di laen sisi, kehebatan SID
dalam mengolah mitos menjadi sesuatu yang berimplikasi positif bagi band
juga mesti diacungin jempol. Mungkin mereka scr gak sengaja
mengimplementasikan mitos organizing atau bias jadi mereka (dethu
exactly) sangat aware dengan teori-teori propaganda ala goebbels? who
knows? yang pasti, invasi yang dilakukan sid di ibukota udah berhasil.
karena sebelumnya, band bali mana selain eternal madness yang bias
dikenal disini? dan itu pun masih terbatas di kalangan metalheads doang.
who's putting bali on the map? siapa yang memicu a&r label-label
rekaman major sini jadi pada bergenit-genit ria dengan band-band bali?
hahaha.. Gue gak suka kuta rock city (stupid major label record, very
poor onmixing), gue juga benci banget ngeliat mereka tiap kali manggung
jelek. tapi gue suka band ini. mereka udah bekerja keras banget untuk
bisa mencapai ini semua. ini mesti dihargai. gue juga sangat yakin
mereka udah paham semua konsekuensi dari menceburkan diri ke dalam
industri. industri yang melakukan fabrikasi "melodic/pop punk" seperti
saat ini. cuma ada satu hal mengganjal, apakah semua ini akan menjadi
"trend ska" selanjutnya atau gimana? jika ya, well, bersenang-senanglah,
guys....your fifteen minutes of fame, maybe couldn't last forever!
prove you right, prove 'em wrong...... inhale/exhale, wenz
ps: felix, tulisan lo bagus tuh! enjoy it so much. minus semua bullshit ttg gue pastinya. metalhead kelas atas? WTF?
>>Arian Arifin
That's
why I'm not sure Rancid can play here, y'know what I mean? Punk tentu
saja harus selalu menjadi sebuah 'threat', dalam pemikiran, bukan jadi
'threat' fisik. I don't know. gue sendiri sih prihatin kalau sikap chaos
jadi membuat ketidaknyamanan individual atau banyak orang. Apalagi
didasari oleh berita selentingan, a.k.a. gosip. Norak.
Sure
SID is punk rock musically, kalau definisi punk non-punk sendiri siapa
sih yang bisa ngejelasin? Sama dengan underground. Gue nggak tahu kalau
ternyata memang ada buku panduan 'The Laws of the Underground: Guide to A
Perfect Underground Scene'. Uh. Seharusnya mereka baca ya? ^_^
Masalah
major-non major, underground-non underground, buat gue udah basi
banget, hohoho tentu saja bisa didiskusikan panjang lebar 4 hari 4 malam
bahkan lebih. Kalau merasa SID memang, uh, 'membelot', ya sudah nggak
usah beli albumnya atau nonton performancenya. Segampang itu kok. "Punk
sudah dijual, sekarang ABG trendy aja udah pake gelang dan sabuk spike!"
Awww. Get over it, it's soooo last 20 years! Punk sudah terjual sejak
Ramones masuk Sire, Malcolm McLaren memperkenalkan Sex Pistols, MC5 dan
Iggy Pop di Elektra. Kok baru ribut sekarang? Rancid dengan Warner,
Green Day, Bad Religion, etc.
'Selling out', buat gue
adalah melakukan hal-hal yang tidak disukai, tapi demi uang
melakukannya. Gue pribadi sih nggak melihat SID melakukan hal tersebut.
Tentu saja mereka sekarang jauh lebih bisa menghidupi kehidupannya scara
album laku 70.000 kopi dan mungkin lebih. Dan nggak salah untuk bisa
hidup dari sesuatu yang mereka sukai: main musik. Toh gue nggak pernah
denger mereka berapi-api bilang: DIY or DIE! Aaww. In my opinion, punk
is about being yourself in this manufactured, fabricated world, dare to
be different, and questioning everything. [for instance, Green Day is as
punk as Crass in a different way. Blink 182 and His Hero Is Gone. Dita
Indahsari and even Garin Nugroho is a punk. So is MTV Jackass and No WTO
Home Video.]. Busted, that boy band sure ain't punk.
Gue
rasa juga banyak yang sirik kok ke SID. I know a lot of punk bands want
to be in SID shoes, so they say bullshits about them. Gue inget betul
pas SID dirusuhin di Surabaya, ada anak band lokal yang semangat ikut
ngerusuhin. Dia vokalisnya. Pas gue tanya kenapa SID dirusuhin,whoaaaaa.
Jawabannya banyak banget.
"Ada apa sih?"
"SID bilang fuck Java dulu!"
"Kapan?"
"Adalah! Mereka nulis 'fuck Java' di studionya?"
"Oh ya? Kok gue nggak pernah lihat ya? Lu sendiri udah pernah ke studionya?"
"Umm, belum sih... tapi temen gue yang liat!"
"Oh, temen elo.. Trus?"
"Gue
ditelfon Jopie dari Spills Records marah-marah, katanya SID ingkar
perjanjian dengan label indie Spills dan sign sama Sony!"
"Ditelfon Jopie?"
"Ya! Mereka nggak underground lagi dan memilih Sony!"
"Gue
deket sama Jopie kok. Dia spesial nelfon elo? Gue nggak tahu lo sedekat
itu dengan Jopie. Dia malah nggak apa-apa SID merilis album dengan
Sony. Toh dengan Spills mereka memang cuman single saja."
"Ya pokoknya SID tuh ngaco!"
"Ngaco gimana?"
"Sok pake bahasa Inggris, belagu banget!"
"Uh..
kan mereka asalnya juga dari Bali, yang kepake kalo enggak bahasa Bali
ya bahasa Inggris... Bahasa Indonesia aja jarang!" "Nah itu mereka suka
ngomong 'fuck Java' pas manggung! Dikiranya kita
nggak ngerti apa? Anak anak Surabaya jadi marah!"
"Anak-anak Surabaya? Bukannya mereka baru main pertama kali di Surabaya sekarang?"
"Ah! Pokoknya SID ngaco!"
Uh.
Kurang lebih itu perbincangan saya. Sekarang, band Surabaya tersebut
sign dengan EMI. Lucu juga setelah dia panjang lebar menceritakan
bagaimana undergroundnya dia. Good for him. Lucu juga bagaimana sebuah
gosip berkembang pesat dari hanya 1 mulut saja. Bagaimana sampai ke
banyak orang? Udah distorsi banget kan. Lucu sekali kali kalau
kebanyakan orang biasanya bicara tentang anti penindasan, sekarang
menindas dalam bentuk baru.
Gue sepakat banget sama Wendi
tentang 'mind your own business'. As long as you don't fuck other people
to get your goals, it's allright. I don't think SID fucked people over
to get where they stand now. Musically, gue juga sepakat kala 'Kuta Rock
City' nggak maksimal. Sayang soalnya. They still can develop though.
Iwan Fals era '80an juga musiknya jelek, lirik mungkin tajam, tapi
musiknya biasa banget. Opini massa bisa membuktikan? Uh, kayaknya kalau
demokrasi, kita memang belum siap. Sampai semua orang pinternya sama,
gue pikir demokrasi nggak akan bisa jalan. Walaupun akan selalu saja
orang yang lahir lebih pintar dan juga orang yang lahir beg.
Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=189917907696149#!/note.php?note_id=281340835220522
Tidak ada komentar:
Posting Komentar