Di balik nama besarnya, tiga personil SID hidup sederhana. Jauh dari gemerlap musisi dengan jutaan penggemar.
Cerita ini saya dapatkan di salah satu web di bali yg terkenal yaitu http://www.balebengong.net/.
Cerita
berbeda itu saya dapatkan setelah membuat liputan tentang Superman is
Dead (SID) untuk majalah Rolling Stone Indonesia. Sebelum liputan ini,
saya mengenal SID dan tiga personilnya hanya dari sumber lain. Misalnya
dari media massa atau teman mereka yang juga teman saya.
Dalam
beberapa kesempatan, saya juga bertemu mereka. Tapi, tidak ada
komunikasi secara personal. Hanya say hallo pada mereka, lalu mereka
membalasnya. Beberapa kali saya nonton konser mereka, meski saya tak
menikmatinya karena pada dasarnya saya memang tidak suka nonton konser
bersama ribuan orang. Saya agak takut dengan keriuhan.
Berita
media, obrolan teman, dan penampilan di panggung melahirkan kesan
(image) di otak saya tentang SID: berangasan, gemerlap, dan selebritis.
Kesan itu didukung ikon-ikon yang menempel, sengaja maupun tidak, pada
SID dan tiga personilnya: tato, bir, punk, glam, rebel, dan semacamnya.
Awal
Februari lalu, band yang lahir di Kuta pada tahun 1995 ini masuk
Billboard Uncharted urutan ke-14. Dua minggu sebelumnya mereka ada di
urutan ke-23. Masuknya, SID dalam Billboard Uncharted ini karena
popularitas dan intensitas mereka di jejaring sosial, seperti Facebook,
Twitter, MySpace, dan seterusnya.
Di Facebook, merekalah musisi Indonesia dengan penggemar terbanyak: hampir 1,8 juta fans!
Masuk
Billboard karena punya hampir 2 juta orang? Wow! SID di otak saya makin
jadi band yang besar dan gemerlap. Begitu pula dengan tiga
personilnya, I Made Putra Budi Sartika alias Bobby, I Made Eka Arsana
alias Eka, dan I Gede Ari Astina alias Jerinx.
Tapi, aaah, stigma
memang berbahaya. Begitu juga kesan saya tentang mereka. Setelah kenal
secara personal, setidaknya lewat beberapa hari reportase, wawancara,
dan pemotretan, saya jadi tahu bahwa stigma, kesan, anggapan, dan semua
asumsi itu tak sepenuhnya benar.
Sebaliknya, mereka terlalu biasa
untuk ukuran band dengan penggemar terbesar di negeri ini sekaligus
musisi pertama dari Indonesia yang masuk daftar majalah musik bergengsi
dunia, Billboard.
Tanpa Bir
Kesan
bahwa SID itu angker pelan-pelan runtuh pas wawancara dengan mereka di
Twice Bar, Kuta. Ini wawancara pertama bersama mereka.
Sebelum
berangkat, saya sudah berpikir bahwa obrolan tiga jam itu akan dipenuhi
asap rokok dan bir. Ternyata saya keliru. Tidak ada bir sama sekali
selama wawancara tersebut. Eka si basis dan vokal latar hanya memesang
teh hangat. Bobby, vokalis dan gitaris, pesan jeruk hangat. Jerinx, yang
juga pemilik Twice Bar malah tidak minum sama sekali. Padahal, hampir
tak pernah saya melihat mereka tampil tanpa bir, terutama di Bali.
Beberapa
hari kemudian saya baru tahu alasan mereka kenapa tidak terlalu banyak
minum bir. “Sudah makin tua. Kami makin mengurangi minum bir. Beda
dengan dulu,” kata Bobby.
Di kesempatan lain I Gede Ardi Suryana
alis Dodix, manajer SID, kemudian menambahkan cerita tentang ritual
minum bir ini. Menurutnya, personil SID paling hanya minum bir ketika
akan tampil. “Biasalah ritual kecil,” katanya.
Di luar itu, mereka termasuk jarang minum bir. Jauh dari kesan saya tentang mereka.
Begitu
juga dengan rokok. Mereka terhitung tidak terlalu sering merokok
setidaknya kalau dibandingkan teman-teman saya yang tukang hisap. Hehe..
Padahal, saya sudah berpikir bahwa selain peminum bir kelas advance,
mereka juga perokok berat. Ternyata tidak berat-berat amat. Bobby malah
bukan perokok sama sekali. “Hanya kadang-kadang merokok untuk keperluan
sosial,” akunya.
Nasi Bungkus
Kesederhanaan
SID juga terasa ketika kami bertemu di Radio Hard Rock, Kuta sekitar
dua minggu setelah pertemuan pertama kami di Twice Bar. Pagi itu SID
siaran di radio sebagai bintang tamu konser Outloud di Central Parkir
Kuta.
Ketika saya tiba di sana, di kamar sempit tempat siaran Hard
Rock ini sudah ada Jerinx yang memang tinggal di Kuta dan Bobby bersama
Dodix manajer mereka. Eka belum terlihat.
Pas siaran sudah
berjalan, Eka baru datang. Dia juga bawa sarapan. Sederhana banget yang
dia bawa: nasi bungkus! Tepatnya nasi dengan bungkus plastik. Sepertinya
ini nasi bungkus beli di pantai Kuta. Sayangnya, saya lupa tanya di
mana beli nasi bungkusnya. Hihihi..
Dengan tarif tiap manggung
antara Rp 30 juta hingga Rp 50 juta, meski juga kadang gratis kalau
teman sendiri, personil SID masih mau makan nasi bungkus seharga Rp
5.000. Salut.
Nasi bungkus pula yang mereka makan ketika kami
bertemu Kamis pekan lalu pada sesi foto bersama teman saya, Den Widhana,
blogger yang juga web designer dan fotografer.
Hari itu seharian
saya dan Deni memotret mereka secara bergantian. Pas jam makan siang
tiga personil SID dan beberapa staf manajemen mereka berkumpul di kantor
SID di Jalan Seroja, Denpasar Timur.
Kebetulan sekali hari itu
juga ada perayaan ulang tahun dua personil SID, Eka yang lahir 8
Februari dan Jerinx yang lahir 10 Februari. Jadi, saya sudah mikir pasti
akan ada makanan berlimpah dan mewah. Tapi, walah, ternyata mereka
“hanya” makan nasi bungkus.
Ini sederhana apa pelit, sih? Wahaha..
Tukang Rakit
Bobby
tinggal di Jl Padma, sekitar Kampus Universitas Ngurah Rai, Denpasar
Timur. Rumah kontrakan seluas 2,8 are ini, kata Bobby, hasil main band
dan jualan baju.
Hal menarik tentang Bobby adalah hobinya merakit
sepeda. Dia mengaku merakit sepeda sejak masih SD. Hobi itu masih dia
lakukan hingga saat ini meski sibuk ngeband. Salah satu buktinya
sepedanya sekarang yang dia pakai dalam sesi foto. Sepeda ini dia rakit
sendiri dari rongsokan seharga Rp 100.000. “Ini buktinya,” kata dia
sambil menunjukkan foto rongsokan bodi sepeda di Blackberry-nya.
Rongsokan
itu kemudian dia rakit sendiri dengan tambahan perangkat lain, seperti
setir, sadel, pedal, dan seterusnya. Total habis sekitar Rp 2 juta.
Weleh. Jatuhnya mahal juga, Bli. Hehe..
Selain hobi merakit
sepeda, dan tentu saja gowes, Bobby juga suka mendesain. Karena itu dia
juga memproduksi pakaian dengan label sendiri, Electrohell. Label ini
dia buat bersama Rizal Tanjung, temannya sesama surfer. Sebelum total
main musik, Bobby memang surfer. Dia juga membuat desain pakaian surfing
sebelum total main musik di SID dan membuat label sendiri.
Bobby
juga bercerita SID dulu main dari konser ke konser tanpa bayaran sama
sekali. “Dulu diajak main saja sudah senangnya bukan main,” katanya.
Honor profesioanl mereka pertama kali adalah ketika tampil di acara
Granat, konser ala mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Udayana, Bali.
Waktu
itu SID dibayar Rp 400.000. “Pas terima duit itu senangnya bukan main.
Waah, bisa juga dapat duit dari tampil,” kata Bobby.
Tapi itu
dulu. Sekarang tarif manggung SID antara Rp 30 juta hingga Rp 50 juta.
Tapi, tarif ini sangat bisa dinego. Kalau acaranya besar plus banyak
sponsor, mereka memang pasang tarif segitu. Kalau acaranya amal, mereka
bersedia datang meski hanya dibayar sebotol bir atau setangkai mawar.
Hehe..
Tukang Oprek
Selama sekitar
16 tahun membangun band, kini personil SID menerima hasilnya. Begitu
pula Eka dengan Harley Davidsonnya. Toh, dia mendapatkan itu semua
karena sejak kecil sudah terbiasa bekerja keras.
Tiap kali melihat
SID tampil, saya merasa Eka berperan seperti joker, tukang bikin
suasana jadi lebih kocak. Dia menghidupkan suasana dengan
omongan-omongannya, terutama dalam Bahasa Bali.
Namun, pada sesi
foto kami di rumah Bobby, kami minta dia berpose sangat serius dengan
menghadap layar komputer. Pose ini disesuaikan dengan minatnya, internet
dan komputer.
Sejatinya, Eka memang geek. Dia salah satu pelopor
penggunaan internet di Bali. Sejak tahun 2000 dia sudah akrab dengan
programming dan coding. Maklum, saat itu dia bekerja sebagai
desainerwww.baliaga.com, media harian online milik NusaBali, koran lokal
yang sebelumnya bernama Nusa Tenggara.
Eka awalnya lebih banyak
bekerja untuk desain grafis. Namun, karena dia disuruh mengelola
website, dia kemudian belajar ngoprek website, belajar tentang program,
coding, CMS, dan tetek bengek seputar website. Dalam bahasa pekerja
teknologi informasi, pekerjaan semacam ini disebut ngoprek.
Hasilnya,
dia makin mahir ngoprek website, mulai dari konsep, desain, sampai
coding. Eka pula yang membuat website www.supermanisdead.net. “Sampai
sekarang juga masih sering ngerjain pesanan website dari teman-teman,”
katanya. Untuk mengerjakan pesanan website itu, Eka punya usaha sendiri
di www.disposablelies.com. Eka tak mau menggunakan CMS berbasis open
source, seperti WordPress, Joomla, dan semacamnya.
“Kalau pakai open source lebih gampang dibobol orang,” katanya.
Untuk
semua keahliannya itu, Eka belajar secara otodidak. Dia satu-satunya
personil SID yang lulus kuliah. “Karena merantau. Jadi kasian kalau
sudah jauh-jauh ke Denpasar tapi tidak lulus kuliah,” katanya.
Eka
lahir dan besar di Negara, Jembrana, sekitar 3 jam perjalanan dari
Denpasar ke arah Gilimanuk. Kedua orang tuanya guru. Karena itu, dia
mengaku punya tanggung jawab untuk menyelesaikan kuliah.
Dan, dia
berusaha keras untuk menyelesaikan kuliah itu. Pada tahun kedua
kuliahnya, Eka sudah mandiri. Dia bekerja di dua tempat sekaligus. Pagi
di kantor Baliaga. Malamnya di tempat lain. “Aku dulu pekerja keras.
Keras sekali,” katanya.
Terbiasa bekerja keras sejak kuliah itu membuat Eka juga terbiasa dengan SID yang memulai karir dari dunia indie.
Tukang Ojek
Selama
mengenal SID dari media atau cerita teman, Jerinx jadi sosok paling
identik dengan SID. Dalam beberapa kesempatan diskusi tentang SID yang
saya ikuti, Jerinx hadir mewakili SID. Jadi, kesan dia sebagai frontman
memang tak terhindarkan.
Lewat status di Facebook ataupun twit
personalnya, Jerinx paling sering mengangkat isu yang bagi banyak orang
mungkin kontroversial. Misalnya, radikalisme, kelompok gay dan lesbian,
dan semacamnya. Jerinx terlihat paling keras kalau ngomong. Sayang,
saya tak punya cukup waktu untuk ngobrol bersamanya secara personal
kecuali ketika bersama teman-temannya.
Namun, selama beberapa hari
melakukan reportase tentang SID, saya menangkap hal totally different
dari sosok paling gahar dan sangar di SID ini.
Hal yang membuat
saya salut pada Jerinx adalah kendaraannya. Dia masih naik motor butut
Supra Vit dengan nomor polisi yang sudah memutih. Motornya juga agak
dekil. Motor yang sama saya lihat dipakai Jerinx saat kami bertemu di
Hard Rock Radio.
Di balik nama besarnya sebagai frontman SID, band
dengan fans mencapai 1,8 juta orang plus image tentang anak band yang
bagi banyak orang adalah bad boy, penampilan Jerinx di luar panggung
biasa saja. Dia lebih mirip tukang ojek daripada frontman band sejuta
umat. Hehe..
Kamis pekan lalu, kami berencana memotret dia pas
main surfing. Tapi, karena dia ada acara di Ubud, maka kami mengikutinya
ke sana begitu selesai berkumpul di kantor manajemen SID.
Dia mau
menunggu kami untuk berangkat bersama. Saya merasakan kehangatan dari
Jerinx sebagai teman, atau setidaknya tuan rumah pada tamunya. Dia
rendah hati sekali.. Sepanjang perjalanan menuju Ubud, Jerinx beberapa
kali melambaikan tangan menjawab salam dari orang yang melihatnya.
Di
luar urusan musik, Jerinx juga mengelola clothing sendiri dengan label
Rumble. Toko ini berkantor pusat di Kuta. Kini dia membuka cabang di
Ubud persinya samping pintu gerbang Museum Antonio Blanco di dekat
jembatan Tukad Campuhan. Kamis pekan lalu Jerinx ke sana untuk melihat
upacara adat (melaspas) toko bercat hitam dan merah tersebut.
Karena
sudah sore dan capek setelah motret seharian, saya tak banyak bertanya
pada Jerinx yang juga sibuk memeriksa persiapan pembukaan toko. Sore itu
toko baru tersebut masih belum berisi apa pun.
Jerinx pernah jadi
vegetarian antara 1997-2007. “Tidak tega saja lihat binatang
disembelih,” katanya. Tapi, kini Jerinx sudah makan daging lagi. “Tidak
kuat juga kalau harus selalu menghindari daging, terutama saat konser,”
katanya.
Toh, Jerinx masih menghindari makan daging dari hewan
berkaki empat, seperti kambing, babi, dan sapi. Pantangan semacam ini
biasanya dilakukan oleh pemimpin agama Hindu di Bali, seperti pemangku
dan pedanda. Tapi, Jerinx mengaku mengikuti pantangan ini bukan karena
alasan religiusitas. Lebih karena alasan itu tadi, kasihan.
Alasan
Jerinx itu kian menguatkan pendapat saya tentang SID dan para
personilnya. Di balik gemerlapnya, di belakang jutaan penggemarnya para
personil SID ini orang-orang yang amat bersahaja.. [b]
http://photos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/183812_182977671738813_100000797447933_351962_4258937_a.jpg
TIGA BERANDAL DI BALIK 1,8 JUTA PENGGEMAR
http://photos-g.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/181520_182977901738790_100000797447933_351963_4862485_a.jpg
BOBBY DI BALIK KESEDERHANAANNYA
http://photos-f.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/184112_182977968405450_100000797447933_351964_801034_a.jpg
EKA PENGHIDUP SUASANA
http://photos-d.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/183848_182978028405444_100000797447933_351965_2858022_a.jpg
BERANDAL YG DULUNYA TUKANG OJEK
Sumber : http://www.facebook.com/#!/note.php?note_id=189917907696149
Tidak ada komentar:
Posting Komentar